Senin, 01 Oktober 2012

Negeri Paman Ho

Bandara Internasional Ho Chi Minh

Dalam dua kesempatan yang berbeda, kunjungan ke negeri Paman Ho, plesetan dari Uncle Sam, negeri yang menaklukan negeri Paman Sam, terkesan tidak pergi ke  luar negeri. Perawakan dan bentuk muka yang melayu faces, tidak jauh berbeda kecuali setelah berbicara langsung atau mendengar pembicaraan masyarakat lokal. Jejak-jejak peperangan panjang karena perbedaan ideologi pemimpinnya, terlihat pada beberapa situs sejarah kelam yang dikelola dalam wisata. Jejak-jejak sejarah kelam tampak dominan di eks Vietnam Selatan, dulu ber-ibukota di Saigon, sekarang diganti
nama menjadi Ho Chi Minh. Presiden Vietnam Utara yang makamnya diawetkan sampai sekarang dan ditempatkan di muselium di Hanoi (dulu Vietnam Utara). Dua kota besar ini di Vietnam dapat dicapai dengan beberapa pesawat dari Jakarta (ke Ho Chi Minh) atau Changi (ke Hanoi).

Ho Chi Minh City
Nama baru dari kota Saigon, eks ibukota Vietnam Selatan,merupakan kota yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Kathedral Nore Dame
. Vietnam Selatan merupakan eks jajahan Perancis. Di beberapa tempat masih terdapat sisa-sisa nama jalan dan bangunan bergaya Eropa. Sebut saja bangunan kantor pos, gereja kathedral dan beberapa bangunan pemerintah dengan corak dominan warna kuning. Notre Dame Cathedral, mengingatkan  pada Notre Dame de Paris, yaitu katedral berasitektur gothic di sebelah timur Île de la Cité di Paris. Terlihat banyak murid sedang praktek menggambar surealistik bangunan ini. Kantor pos Vietnam (Buu Dien), contoh arsitektur lain peninggalan masa penjajahan.
Kantor Pos (Buu Dien)
Masih digunakan fungsinya sebagai kantor pos dan toko souvenir serta sejarah bangunan dalam bentuk keterangan dan lukisan di beberapa dinding.
Bekas kantor presiden Ho yang ditata apik dengan berbagai koleksi souvenir. Diantaranya kaki gajah yang digunakan sebagai tong untuk tempat barang-barang, mengingatkan pada koleksi musium kerajaan Johor Baru.
Museum Istana
Jika ingin souvenir oleh-oleh kerabat dapat diperoleh di pasar Cho Ben Than. Masih di dalam kota,terdapat beberapa museum.Kemelut pengaruh perubahan dan perebutan ideologi liberal ala amerika dan komunis ala china, berbuntut invasi tentara US (era Nixon) ke Vietsel tahun 1975an. Perang fisik dengan berbagai media senjata dan peralatan perang yang standar dan yang mengerikan bisa disaksikan bekas-bekasnya di beberapa Museum Perang.
Cho Ben Than
Cunchi, terletak 75 km di luar kota Ho Chi Minh, memberi gambaran kepada dunia tentang bentuk-bentuk strategi perang darat dengan segala atributnya. Jebakan mematikan, dengan varian-nya, perlindungan diri dari serangan udara,
dahsyatnya bom dari pesawat B52 ditampilkan dalam bentuk kilas balik perjalanan rakyat Vietnama dalam areal seluas +/- 25 ha.
Cunchi, Mesuem Lapangan Perang Vietnam
Paket perjalanan dengan menggunakan bus dengan seorang guide dengan membayar 200.000 dong. Sebagai bagian dari promosi wisata, bus rombongan berhenti di industri merangkap show room souvenir. Uniknya pengrajinnya adalah korban disabel yang lahir karena efek Vietnam Rose.
Dengan tiket 20.000 dong seorang guide akan mendampingi pengunjung untuk menjelaskan dalam bahasa Inggris. Masih dalam suasana masa lampau yang sama, terdapat War Reminans Museum. Dahsyatnya bom kimia dalam program Agent Orange yang berdampak pada ketidaknormalan (cacat genetis) bayi-bayi yang lahir (Vietnam Rose).
War Reminant Museum
Keunikan lain dari kota ini adalah semrawutnya motor roda 2 sebagai moda transportasi berbaur dengan sedikit kendaraan roda 4. Walaupun demikian, pengamatan pada jalan padat dengan taman di
depan pasar Cho Ben Than tidak ditemukan kemacetan yang berarti, walaupun sebagian pengendara mengabaikan laampu lalin.
Saling pengertian. Yang lain, kabel listrik dengan kesemrawutan yang lain, Tidak jelas, apakah karena kondisi ini, beberapa souvenir kota Saigon menggambarkan situasi ini.

Hanoi.
Jika kota terbesar di selatan Vietnam, Ho Chi Minh, begitu pesat dengan pembangunan gedung-gedung modern, Hanoi terlebih lebih klasik dengan peninggalan bangunan paninggalan penjajah Perancis.
Moseleum Ho Chi Minh, bangunan berbentuk kotak persegi setinggi 20-25 meter, tempat bersemayam jenasah mendiang presiden Ho yang di balsem, seperti makam Lenin di Moskow. Sayang sekali, pada saat itu museleum ditutup karena jenasah sedang dalam proses pembalseman ulang. Di belakang taman muselium terdapat taman dengan pagoda satu pondasi (one pilar pagoda).
Taman kota dengan kolam, Hoan Kim, walaupun bukan week end, dimanfaatkan warga setempat untuk bersantai-santai.
Di salah bagian dari kolam terdapat pertunjukan wayang air, hanya untuk pertunjukan malam hari.
Museum Ho Chi Minh
Katedral dengan arsitektur gotic mirip dengan notre dome, tampak kusam tanpa cat, terlihat kusam. Tidak jelas apakah disengaja, sehingga tampak unik. Di tengah mayoritas penduduk beragama Budha,
Kathedral Hanoi
di daerah kota tua, terletak di Hang Luoc st.di tengah-tengah pertokoan yang ramai pada malam hari (night market).
Masjid Al Noor Hanoi, Huan Luoc
Masjid dengan takmir seorang keturunan Pakistan, sepi, sholat Isya hanya diikuti 4 jamaah saja. Uniknya ada tulisan Tiada panggilan sepenting panggilan Illahi. Jelas,
pesan ini ditujukan bukan untuk WNV, Warga Negara Vietnam.
Wisata alam yang unik lagi adalah Ha Long Bay. Terletak di teluk Tonkin,
Ha Long Bay
mendekati perbatasan dengan China, merupakan kawasan  wisata laut seluas 1500 km2 dengan adanya duaribu-an pulau-pulau kecil yang tersebar.
Sebagian besar tidak berpenghuni karena kecuramannya, sebagian digunakan sebagai gardu pandang yang berada di puncak. Perjalanan wisata dibandrol dengan harga 75-120 $US untuk dua hari. Hampir setiap hotel menyiapkan paket wisata ini. Jam 08.00 keesok harinya, penjemput dari travel agent sudah datang. Peserta dikumpulkan dulu di kawan Huan Loc, bersama dengan peserta lain menuju pelabuhan Bay Tham Marine, berjarak 170 km ke arah timur. Menggunakan mini bus ditempuh selama 2 jam. Seperti biasa, istirahat di Thanh Dong, workshop dan penjualan souvenir khas Vietnam. Perjalanan menggunakan perahu cruize yang cukup bersih dan lapang, kamar tidur dengan kamar mandi sendiri. Cuaca pagi cerah, perjalanan selama 3-4 jam ke arah utara.Eclipse, nama cruize yang menjadi host perjalan wisata ini.
Rupanya banyak sekali agen-agen wisata yang memberikan paket ke Ha Long Bay, dan dikelola secara profesional. Paket wist termasuk wisata kano, dinner ala western, breakfast dan lunch. Sensasi Halong Bay memang luar biasa, unik, hanya beberapa tempat yang bisa menyaingi, satu diantaranya Raja Empat. Salah satu obyek wisata yang diakui Unesco.
Pemukiman pekerja wisata layaknya kampung laut menjadi tempat transit sebelum wisata kano. Rombongan diberi waktu satu jam untuk menikmati kano sendiri-sendiri. Walaupun seumur-umur belum pernah menggunakannya, tidak terlalu sulit untuk melakukan olahraga air ini. Asik. Menjelang magrib, pemandu mengajak rombongan menuju cruize untuk persiapan mandi untuk dinner resmi. Pembagian kamar sesuai dengan jumlah tamu. Semua tamu rombongan pelajar-pelajar bule couple, kecuali penulis. Paket dinner didesain resmi ala western dengan urutan hidangan awal sampai penutup.
Kagok saja bagi kita yang tidak biasa. Basa-basi ngobrol asal-asal, dilanjutkan dengan menikmati malam di tengah deretan pulau-pulau kecil dan kerlipan lampu-lampu dari cruize lain yang sedang sandar jangkar.Suasananya santai...
Hari kedua di cruize, setelah breakfast pengunjung diantaer ke goa yang berada di salah satu pulau,  Hang Su Sot. Tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan goa Gong di Pacitan. Bedanya disini
sudah dikelola secara profesional dan terintegrasi dengan baik.
Berakhir sudah perjalanan di Hanoi, saatnya kembali ke tanah dan kerja rutin as usual.
















Senin, 23 Juli 2012

GMT+8

 Tertarik dengan penyatuan WIB,WITA dan WIT dalam satu waktu, L Wilardjo, fisikawan menulis artikel di harian Kompas pada tanggal 28 Mei 2012, sebagai berikut :

Oleh tokoh pers nasional, Adinegara, Nusantara dijuluki Zamrud Katulistiwa.
Di masa Adinegara, sebutan itu tepat sebab Nusantara ialah kepulauan di kawasan khatulistiwa yang terentan dari barat sampai timur: tampak hijau royo-royo karena hutan, sawah-ladang, dan nyiurnya yang melambai-lambai di sepanjang pantai.
Sekarang sabuk hijau di kahtulistiwa itu sudah bopeng-bopeng akibat ulak pembalak liar dan pengusaha tambang yang merambah hutan. Namun, syukurlah, NKRI masih utuh kendati sempat, dan masih, ada gerakan separatisme di ujung barat (Aceh) dan di ujung timur (Papua).

Tiga mintakat jadi satu.
Kita sudah terbiasa dengan pembagian Indonesia ke dalam tiga mintakat waktu: WIB, Wita dan WIT. Orang yang tinggal di wilayah  WIB memang merasa bahwa pukul 06.00 WIT di Manokwari masih terlalu gelap, tetapi perbedaan itu dapat ditenggang. Apabila, dan jika, seluruh Indonesia dijadikan satu mintakat waktu, perbedaan suasana pada jam yang sama antara Jayapura dan Banda Aceh kian kontras.  
GMT (Greenwich Mean Time) ialah waktu di kawasan Greenwich, di pinggir Sungai Thames, sebelah tenggara London. Garis bujur nol melintasi Greerwich. Dengan kata lain, Greenwich dilalui oleh meridian utama yang menghubungkan Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Sekarang selisih waktu antara Inggris dan WIB  tujuh jam. Kalau WIB, WITA dan WIT dilebur menjadi  GMT+ 48, waktu di seluruh Indonesia menjadi sama dengan WITA sekarang ini. Orang yang tinggal di kawasan WIB akan memulai hari dan kegiatannya satu jam lebih awal. Sebaliknya, orang yang berdomisili di kawasan WIT bisa tetap berbaring di tempat tidur satu jam lagi, dihandingkan dengan kebiasaannya.  
Sabang kira-kira terletak di 95°BT, sementara Merauke ada di sekitar 142°BT. Busur lintang di dekat khatulistiwa antara Sabang dan Merauke besarya 47°.  Kalau waktu didasarkan pada perputaran Bumi  di sekliling sumbunnya, ada perbedaan waktu kira-kira 3 jam 8 menit antara Sabang dan Merauke;  Sabang keteter terhadap Merauke.  Selisih waktu alami ini akan dihapus, menjadi nol jika GMT+8 diterapkan.  Padahal,  jarak kedua kota itu sekitar 5.250 kilometer.
Apakah gagasan menyatukan WIB, Wita, dan WIT menjadi  GMT+8  itu cerdas, arif, dan berani atau bodoh, ngawur, dan gegabah?  Saya tak hendak menjawab pertanyaan retoris ini. Namun, kalau pertanyaannya ilmiahkah gagasan yang akan kan keputusan itu  dengan masa uji coba yang konon akan dimulai Oktober tahun ini, jawahannya: Tidaklah yauw!.

Apakah itu satu-satunya cara atau cara yang terbaik. Ada cara lain untuk mengetahui dan dalam hal tertentu bisa saja cara lain, yang tidak ilmiah, itu justru dianggap lebih baik.
Ilmu mempunyai dua komponen: eksperimental/observasional/empiris dan teoritis. Komponen yang pertama berupa interaksi antara manusia (baca: ilmuwan) dan lingkungannya, alam ataupun sosial. Dari interkasi ini diperoleh sjumlah data.
Dalam komponen teoritis makna data itu ditafsirkan. Ini terjadi di alam pikiran. Kecerdasan dan daya nalar -juga pertimbangan nilai-nalai- dipakai dalam pemaksanaan itu dan deduksi logis yang disimpulkan dari gambaran yang diperoleh dari komponen teoritis itu divalidasi dengan menghadapmukakan kesimpulan itu dengan kenyataan atau pengalaman di lapangan.
Jelaslah bahwa ilmu berkiblat pada apa-apa yang dialami. Rotasi bumi adalah alami. Kita tak dapat mengubahnya dan sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan irama alami yang kodrati itu. Tak sesuai dengan yang alami berarti tak ilmiah.

Teknologiskah?
Apakah kita tak boleh mengubah yang alami itu? Tentu saja boleh, atau lebih tepat tak mengubah, tetapi menyiasati.  Itulah yang kita lakukan dengan mengembangkan teknologi, yang tak lain dari alat  dan/atau cara mengatasi masalah yang kita hadapi atau kita antisipasi sebelum masalah potensial itu menjadi aktual. Menurut Billy V Koen, di teras teknologi ada apa yang disebut perekayasaan: usaha mengadakan perubahan yang terbaik menurut persepsi masyarakat. Mengadopsi  GMT+8 berarti mengubah atau merekayasa yang alami/ilmiah. Namun, dengan perubahan  itu kita baru dapat disebut berkiblat ke teknologi kalau dalam persepsi rakyat Indonesia perubahan itu merupakan yang terbaik. Jadi, masih diperlukan uji publik dengan referendum atau musyawarah dan mufakat di DPR. Akankah uji coba Oktober nanti jadi proses demokrasi deliberatif di Lebenswelt Habermasian atau kita sedemikian paternalistiknya sehingga patuh saja kepada para pemimpin bak kerbau dicocok hidung?  Adopsi GMT+8 tak berkiblat  ke alam dan tak ilmiah, lagi pula belum tentu teknologis. Kelihatanya perubahan ke GMT+8 ini lebih berorientasi ke pasar agar jam buka bursa efek kita sama atau lebih banyak tumpang tindihnya dengan jam kerja pasar modal di bursa-bursa di Asean dan Asia-Pasifik. Jadi, kita menyerah diatur tangan-tangan kasatmata.
Masih mending jika pasarnya bebas. Persaingannya adil dan rasional sesuai moto laisez faire. Kalau pasarnya didominasi kekuatan-kekuatan raksasa ekonomi, berarti kita menerima Darwinisme sosial : membiarkan kesintasan Si Terkuat.

L Wilardjo, fisikawan.