Pengakuan negara atas seseorang yang mempunyai hubungan hukum dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah ditunjukkan dengan terbitnya sertipikat hak atas tanah. Untuk sementara. Lho... kenapa ?
Proses penerbitan bukan proses yang sekali jadi -dalam arti, perumpaan membuat kartu identitas (KTP, Paspor, SIM dll), persyaratan formal tentang keberadaan kita dipenuhi, pada saat yang sama akan diterbitkan bukti identitas tersebut-, tetapi memerlukan beberapa persyaratan dan proses yang cukup berliku dan panjang. Keterlibatan pihak lain (misalnya keterangan dari instansi terdepan tentang keberadaan suatu bidang tanah), kekurang-pahaman si penguasa (belum pemilik) tanah mengenai dampak yuridis yang harus dihadapi di kemudian hari, ketidak pedulian si penguasa (sekali lagi, belum pemilik) dalam menjaga bidang tanah yang menjadi otoritas-nya, merupakan beberapa alasan eksternal yang dapat menjadi handycap dalam proses penerbitan sertipikat. Kekurangsiapan sumber daya manusia dalam segi kualitas dan kuantitas, adalah alasan internal lain bagi otoritas yang menyertai dan, malahan, menambah macetnya suatu proses permohonan sertipikat.
Tanah ditinjau dari asal perolehan pertama kali, dibedakan menjadi 2, yaitu tanah negara dan tanah adat. Tanah adat yaitu tanah yang turun temurun dan diakui oleh otoritas pemerintah terdepan (baca kelurahan/desa) dan dikuasai oleh seseorang atau sekompok orang. Walaupun tidak ada bukti formal dalam bentuk hardcopy, secara yuridis dapat dibuktikan dengan pengakuan dalam bentuk lain, misalnya pembayaran pajak, surat keterangan dari otoritas wilayah tersebut. Leter C, girik, ketitir, gross acte dan lain-lain merupakan beberapa contoh bukti penguasaan yang akan mendukung bukti kepemilikan tanah. Penguasaan tanah adat oleh sekelompok orang atau masyarakat biasa disebut dengan tanah ulayat. Buku desa merupakan salah satu contoh administrasi pembukuan sederhana yang memuat tentang daftar tanah di suatu desa/kelurahan dan orang-orang yang menguasainya.
Tanah negara adalah tanah yang secara yuridis tidak dapat dibuktikan bahwa tanah tersebut secara turun temurun adalah dibawah penguasaanya. Secara sederhana dapat digambarkan, jika tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah tanah adat, dianggap sebagai tanah negara.
Kedua jenis tanah ini memerlukan perlakuan yang tidak sama dalam proses penelitian dan penerbitan sertipikat tanah-nya. Salah satu asas yang harus dipenuhi untuk memproses dokumen yang berasal dari tanah-tanah adat adalah dilakukan pengumuman dalam periode tertentu yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada siapapun untuk melakukan sanggahan atau keberatan terhadap rencana pengakuan negara kepada seseorang untuk memiliki sebidang tanah. Dalam tata kelola pendaftaran tanah, negara menganut sistem negatif bertenden positip. Artinya, kepada seseorang yang sudah diakui kepemilikannya atas sebidang tanah masih dimungkinkan adanya pencabutan haknya, apabila ada gugatan dan mempunyai bukti penguasaan yang lebih kuat, dan tentu saja diputuskan oleh badan peradilan.
Penerbitan sertipikat hak atas tanah dibedakan menjadi hak-hak tertentu tergantung dari sifat, pemilik dan masa berlakunya hak tersebut. Sesuai dengan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, terdapat 8 jenis hak atas tanah yaitu: (1)hak milik (terkuat ,untuk perorangan tidak ada masa berlaku), (2)hak guna usaha (untuk badan usaha dengan batas waktu kepemilikan), (3)hak guna bangunan (untuk perorangan dan badan usaha dengan batas waktu kepemilikan), (4)hak pakai (untuk instansi pemerintah dan warga negara asing/badan-badan asing), (5)hak sewa (untuk menggunakan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya), (6)hak membuka tanah (untuk membuka hutan), (7)hak memungut hasil hutan, (8)hak-hak lain yang ditetapkan UU. Hak-hak nomor (5) menjadi domain UU perdata, nomor (6) dan (7) berdasarkan UU menjadi domain Departemen Kehutanan. Sedangkan yang lain adalah domain Badan Pertanahan Nasional yang atas nama UU diberi otoritas untuk mengelola pengaturan, peruntukan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan hak atas tanah. Perkembangan selanjutnya sesuai dengan hak-hak lain, diterbitkan (8)hak wakaf (untuk penggunaan bidang keagamaan), (9)hak tanggungan (untuk penjaminan keuangan), (10)hak satuan rumah susun (untuk penggunaan ruang atas tanah).
Sudah-kah tanah kita bersertipikat ?
Indonesia yang membentang dengan luas 190 juta ha, konon mempunyai 90 juta ha atau 80 juta bidang tanah yang menjadi domain BPN sebagai instansi pemerintah yang berwenang dalam pengelolaan pertanahan. Dari jumlah tersebut, konon -lagi- baru 40 juta bidang tanah yang bersertipikat. Lho koq sedikit sekalee..........
Sertipikasi sudah berlangsung sejak jaman pemerintah Hindia Belanda, karena di bawah yuridiksi kerajaan Belanda maka regulasi masih mengikuti negara penjajahnya. Hak-hak atas yang diberikan mengikuti aturan mereka, antara lain eigendoom, opstal, erphach dll. Walaupun Indonesia sudah merdeka pada tahun 1945, regulasi tentang pertanahan baru diterbitkan 15 tahun kemudian, yaitu dengan terbitnya UU nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pada pasal 19 UUPA, pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hak atas tanah di Indonesia. Untuk melaksanakan pendaftaran perlu dilakukan (1)pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah (2) pendaftaran tanah dan peralihan-nya (3)memberikan surat bukti hak, sebagai alat pembuktian yang kuat.
Menurut ketentuan pasal tersebut, pemerintah hanya menyediakan jasa sebagai penyelenggara. Sedangkan segala beban biaya untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut dibebankan kepada masyarakat. Dengan demikian beberapa hal yang dapat mendorong percepatan pensertipikatan tanah antara lain kepentingan pemilik tanah, tingkat kesejahteraan masyarakat, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh keberadaan tanah itu sendiri. Logika-nya orang akan mensertipikatkan tanahnya jika (a) ia sudah sadar pentingnya bukti yuridis kepemilikan tanah (berpendidikan), (b) ia mempunyai keinginan untuk menggiatkan roda perekonomian dengan memanfaatkan aset tidak bergerak yang dia miliki (economy assessment), atau (3) ia mempunyai naluri bisnis yang kuat untuk memutar asetnya untuk lebih produktif (enterprenership). Kata kunci-nya, partisipatif masyarakart dan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun penyediaan infrastruktur perpetaan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan, dalam pelaksanaannya terkendala oleh anggaran belanja yang tidak murah untuk memetakan wilayah seluas 90 juta ha. Prioritas pemetaan berdasarkan kebutuhan merupakan jalan tengah yang bisa dilaksanakan selama ini.
Ref. Uupa 5 tahun 1960