Tertarik dengan penyatuan WIB,WITA dan WIT dalam satu waktu, L Wilardjo, fisikawan menulis artikel di harian Kompas pada tanggal 28 Mei 2012, sebagai berikut :
Oleh tokoh
pers nasional, Adinegara, Nusantara dijuluki Zamrud Katulistiwa.
Di masa
Adinegara, sebutan itu tepat sebab Nusantara ialah kepulauan di kawasan
khatulistiwa yang terentan dari barat sampai timur: tampak hijau royo-royo
karena hutan, sawah-ladang, dan nyiurnya yang melambai-lambai di sepanjang
pantai.
Sekarang
sabuk hijau di kahtulistiwa itu sudah bopeng-bopeng akibat ulak pembalak liar
dan pengusaha tambang yang merambah hutan. Namun, syukurlah, NKRI masih utuh
kendati sempat, dan masih, ada gerakan separatisme di ujung barat (Aceh) dan di
ujung timur (Papua).
Tiga mintakat jadi satu.
Kita sudah
terbiasa dengan pembagian Indonesia ke dalam tiga mintakat waktu: WIB, Wita dan
WIT. Orang yang tinggal di wilayah WIB
memang merasa bahwa pukul 06.00 WIT di Manokwari masih terlalu gelap, tetapi
perbedaan itu dapat ditenggang. Apabila, dan jika, seluruh Indonesia dijadikan
satu mintakat waktu, perbedaan suasana pada jam yang sama antara Jayapura dan
Banda Aceh kian kontras.
GMT
(Greenwich Mean Time) ialah waktu di kawasan Greenwich, di pinggir Sungai
Thames, sebelah tenggara London. Garis bujur nol melintasi Greerwich. Dengan
kata lain, Greenwich dilalui oleh meridian utama yang menghubungkan Kutub Utara
dan Kutub Selatan.
Sekarang
selisih waktu antara Inggris dan WIB tujuh jam. Kalau WIB, WITA dan WIT dilebur
menjadi GMT+ 48, waktu di seluruh Indonesia
menjadi sama dengan WITA sekarang ini. Orang yang tinggal di kawasan WIB akan
memulai hari dan kegiatannya satu jam lebih awal. Sebaliknya, orang yang
berdomisili di kawasan WIT bisa tetap berbaring di tempat tidur satu jam lagi,
dihandingkan dengan kebiasaannya.
Sabang
kira-kira terletak di 95°BT,
sementara Merauke ada di sekitar 142°BT.
Busur lintang di dekat khatulistiwa antara Sabang dan Merauke besarya 47°. Kalau waktu didasarkan pada perputaran Bumi di sekliling sumbunnya, ada perbedaan waktu kira-kira
3 jam 8 menit antara Sabang dan Merauke;
Sabang keteter terhadap Merauke. Selisih waktu alami ini akan dihapus, menjadi
nol jika GMT+8 diterapkan. Padahal, jarak kedua kota itu sekitar 5.250 kilometer.
Apakah
gagasan menyatukan WIB, Wita, dan WIT menjadi
GMT+8 itu cerdas, arif, dan berani atau bodoh,
ngawur, dan gegabah? Saya tak hendak menjawab
pertanyaan retoris ini. Namun, kalau pertanyaannya ilmiahkah gagasan yang akan kan
keputusan itu dengan masa uji
coba yang konon akan dimulai Oktober tahun ini, jawahannya: Tidaklah
yauw!.
Apakah itu
satu-satunya cara atau cara yang terbaik. Ada cara lain untuk mengetahui dan
dalam hal tertentu bisa saja cara lain, yang tidak ilmiah, itu justru dianggap
lebih baik.
Ilmu
mempunyai dua komponen: eksperimental/observasional/empiris dan teoritis.
Komponen yang pertama berupa interaksi antara manusia (baca: ilmuwan) dan
lingkungannya, alam ataupun sosial. Dari interkasi ini diperoleh sjumlah data.
Dalam
komponen teoritis makna data itu ditafsirkan. Ini terjadi di alam pikiran.
Kecerdasan dan daya nalar -juga pertimbangan nilai-nalai- dipakai dalam
pemaksanaan itu dan deduksi logis yang disimpulkan dari gambaran yang diperoleh
dari komponen teoritis itu divalidasi dengan menghadapmukakan kesimpulan itu
dengan kenyataan atau pengalaman di lapangan.
Jelaslah
bahwa ilmu berkiblat pada apa-apa yang dialami. Rotasi bumi adalah alami. Kita
tak dapat mengubahnya dan sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan irama alami
yang kodrati itu. Tak sesuai dengan yang alami berarti tak ilmiah.
Teknologiskah?
Apakah kita
tak boleh mengubah yang alami itu? Tentu saja boleh, atau lebih tepat tak mengubah,
tetapi menyiasati. Itulah yang
kita lakukan dengan mengembangkan teknologi, yang tak lain dari alat dan/atau cara mengatasi masalah yang kita
hadapi atau kita antisipasi sebelum masalah potensial itu menjadi aktual.
Menurut Billy V Koen, di teras teknologi ada apa yang disebut perekayasaan:
usaha mengadakan perubahan yang terbaik menurut persepsi masyarakat.
Mengadopsi GMT+8 berarti mengubah atau merekayasa yang alami/ilmiah. Namun,
dengan perubahan itu kita baru dapat
disebut berkiblat ke teknologi kalau dalam persepsi rakyat Indonesia perubahan
itu merupakan yang terbaik. Jadi, masih diperlukan uji publik dengan referendum
atau musyawarah dan mufakat di DPR. Akankah uji coba Oktober nanti jadi proses
demokrasi deliberatif di Lebenswelt
Habermasian atau kita sedemikian paternalistiknya sehingga patuh saja
kepada para pemimpin bak kerbau dicocok hidung? Adopsi GMT+8
tak berkiblat ke alam dan tak
ilmiah, lagi pula belum tentu teknologis. Kelihatanya perubahan ke GMT+8 ini
lebih berorientasi ke pasar agar jam buka bursa efek kita sama atau lebih
banyak tumpang tindihnya dengan jam kerja pasar modal di bursa-bursa di Asean
dan Asia-Pasifik. Jadi, kita menyerah diatur tangan-tangan kasatmata.
Masih
mending jika pasarnya bebas. Persaingannya adil dan rasional sesuai moto laisez faire. Kalau pasarnya didominasi
kekuatan-kekuatan raksasa ekonomi, berarti kita menerima Darwinisme sosial : membiarkan
kesintasan Si Terkuat.
L Wilardjo,
fisikawan.