Senin, 23 Juli 2012

GMT+8

 Tertarik dengan penyatuan WIB,WITA dan WIT dalam satu waktu, L Wilardjo, fisikawan menulis artikel di harian Kompas pada tanggal 28 Mei 2012, sebagai berikut :

Oleh tokoh pers nasional, Adinegara, Nusantara dijuluki Zamrud Katulistiwa.
Di masa Adinegara, sebutan itu tepat sebab Nusantara ialah kepulauan di kawasan khatulistiwa yang terentan dari barat sampai timur: tampak hijau royo-royo karena hutan, sawah-ladang, dan nyiurnya yang melambai-lambai di sepanjang pantai.
Sekarang sabuk hijau di kahtulistiwa itu sudah bopeng-bopeng akibat ulak pembalak liar dan pengusaha tambang yang merambah hutan. Namun, syukurlah, NKRI masih utuh kendati sempat, dan masih, ada gerakan separatisme di ujung barat (Aceh) dan di ujung timur (Papua).

Tiga mintakat jadi satu.
Kita sudah terbiasa dengan pembagian Indonesia ke dalam tiga mintakat waktu: WIB, Wita dan WIT. Orang yang tinggal di wilayah  WIB memang merasa bahwa pukul 06.00 WIT di Manokwari masih terlalu gelap, tetapi perbedaan itu dapat ditenggang. Apabila, dan jika, seluruh Indonesia dijadikan satu mintakat waktu, perbedaan suasana pada jam yang sama antara Jayapura dan Banda Aceh kian kontras.  
GMT (Greenwich Mean Time) ialah waktu di kawasan Greenwich, di pinggir Sungai Thames, sebelah tenggara London. Garis bujur nol melintasi Greerwich. Dengan kata lain, Greenwich dilalui oleh meridian utama yang menghubungkan Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Sekarang selisih waktu antara Inggris dan WIB  tujuh jam. Kalau WIB, WITA dan WIT dilebur menjadi  GMT+ 48, waktu di seluruh Indonesia menjadi sama dengan WITA sekarang ini. Orang yang tinggal di kawasan WIB akan memulai hari dan kegiatannya satu jam lebih awal. Sebaliknya, orang yang berdomisili di kawasan WIT bisa tetap berbaring di tempat tidur satu jam lagi, dihandingkan dengan kebiasaannya.  
Sabang kira-kira terletak di 95°BT, sementara Merauke ada di sekitar 142°BT. Busur lintang di dekat khatulistiwa antara Sabang dan Merauke besarya 47°.  Kalau waktu didasarkan pada perputaran Bumi  di sekliling sumbunnya, ada perbedaan waktu kira-kira 3 jam 8 menit antara Sabang dan Merauke;  Sabang keteter terhadap Merauke.  Selisih waktu alami ini akan dihapus, menjadi nol jika GMT+8 diterapkan.  Padahal,  jarak kedua kota itu sekitar 5.250 kilometer.
Apakah gagasan menyatukan WIB, Wita, dan WIT menjadi  GMT+8  itu cerdas, arif, dan berani atau bodoh, ngawur, dan gegabah?  Saya tak hendak menjawab pertanyaan retoris ini. Namun, kalau pertanyaannya ilmiahkah gagasan yang akan kan keputusan itu  dengan masa uji coba yang konon akan dimulai Oktober tahun ini, jawahannya: Tidaklah yauw!.

Apakah itu satu-satunya cara atau cara yang terbaik. Ada cara lain untuk mengetahui dan dalam hal tertentu bisa saja cara lain, yang tidak ilmiah, itu justru dianggap lebih baik.
Ilmu mempunyai dua komponen: eksperimental/observasional/empiris dan teoritis. Komponen yang pertama berupa interaksi antara manusia (baca: ilmuwan) dan lingkungannya, alam ataupun sosial. Dari interkasi ini diperoleh sjumlah data.
Dalam komponen teoritis makna data itu ditafsirkan. Ini terjadi di alam pikiran. Kecerdasan dan daya nalar -juga pertimbangan nilai-nalai- dipakai dalam pemaksanaan itu dan deduksi logis yang disimpulkan dari gambaran yang diperoleh dari komponen teoritis itu divalidasi dengan menghadapmukakan kesimpulan itu dengan kenyataan atau pengalaman di lapangan.
Jelaslah bahwa ilmu berkiblat pada apa-apa yang dialami. Rotasi bumi adalah alami. Kita tak dapat mengubahnya dan sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan irama alami yang kodrati itu. Tak sesuai dengan yang alami berarti tak ilmiah.

Teknologiskah?
Apakah kita tak boleh mengubah yang alami itu? Tentu saja boleh, atau lebih tepat tak mengubah, tetapi menyiasati.  Itulah yang kita lakukan dengan mengembangkan teknologi, yang tak lain dari alat  dan/atau cara mengatasi masalah yang kita hadapi atau kita antisipasi sebelum masalah potensial itu menjadi aktual. Menurut Billy V Koen, di teras teknologi ada apa yang disebut perekayasaan: usaha mengadakan perubahan yang terbaik menurut persepsi masyarakat. Mengadopsi  GMT+8 berarti mengubah atau merekayasa yang alami/ilmiah. Namun, dengan perubahan  itu kita baru dapat disebut berkiblat ke teknologi kalau dalam persepsi rakyat Indonesia perubahan itu merupakan yang terbaik. Jadi, masih diperlukan uji publik dengan referendum atau musyawarah dan mufakat di DPR. Akankah uji coba Oktober nanti jadi proses demokrasi deliberatif di Lebenswelt Habermasian atau kita sedemikian paternalistiknya sehingga patuh saja kepada para pemimpin bak kerbau dicocok hidung?  Adopsi GMT+8 tak berkiblat  ke alam dan tak ilmiah, lagi pula belum tentu teknologis. Kelihatanya perubahan ke GMT+8 ini lebih berorientasi ke pasar agar jam buka bursa efek kita sama atau lebih banyak tumpang tindihnya dengan jam kerja pasar modal di bursa-bursa di Asean dan Asia-Pasifik. Jadi, kita menyerah diatur tangan-tangan kasatmata.
Masih mending jika pasarnya bebas. Persaingannya adil dan rasional sesuai moto laisez faire. Kalau pasarnya didominasi kekuatan-kekuatan raksasa ekonomi, berarti kita menerima Darwinisme sosial : membiarkan kesintasan Si Terkuat.

L Wilardjo, fisikawan.