Senin, 09 Mei 2016

Negeri Blambangan

Kota paling timur di pulau Jawa, dengan tagline sunrise of java, rasanya tidak salah kalau kota Banyuwangi merupakan kota pertama di pulau Jawa yang melihat matahari bersinar di pagi hari. Potensi wisata yang luar biasa, dan baru terkuak dalam lima tahun terakhir, merupakan destinasi wisata yang sangat menarik. Puluhan wisata pantai dengan keunikan sendiri, wisata gunung dan wisata budaya kiranya tidak cukup waktu dua hari untuk mengunjungi semua destinasi tersebut. Akses melalui udara via Surabaya hanya dua kali penerbangan per hari, rasanya perlu ditinjau lagi.... karena potensi yang luar biasa. Garuda dan Wings melayani setiap hari pada jam yang bersamaan, jam 11.00 dan jam 11:15.
Apron Bandara Blimbingsari, Banyuwangi
Fasilitas bandara sangat sederhana, hanya da satu bangunan yang terdiri dari dari tiga yang terpisah, keberangkatan dan kedatangan. Keberangkatan terbagi dua, ruang pemeriksaan/cek-in dan ruang tunggu. Karena sempitnya ruang tunggu, perlu ditambah tenda di halaman depan. Rehab bangunan sedang dalam proses penyelesaian, informasinya tahun depan baru bisa digunakan. Jarak bandara Blimbingsari ke pusat kota +/- 15 km. Taxi bandara dengan tarif flat rp. 75.000,- siap mengantar ke penginapan yang diinginkan. Hotel dan penginapan dengan fasilitas bintang 4, tersedia di beberapa tempat. Salah satu diantaranya,hotel Santika agak keluar kota dan wisma Blambangan yang terletak di pusat kota, milik pemda setempat bekerja sama dengan swasta.

Pantai Boom
Hari pertama tiba di Banyuwangi serasa nanggung, alternatif yang paling mudah adalah menikmati suasana kota dengan cara santai. Dengan apa ? Naik becak, merupakan pilihan yang pas. Sesuai arahan mbah Google, kuliner yang dapat urutan pertama hasil searching adalah nasi tempong mbok Nah. Anehnya pak becak ketika ditanya lokasi warung mbok Nah, tidak tahu persis..waahhh. Warung mbok Nah sangat sederhana,menu andalannya nasi tempong yaitu nasi putih anget dengan lauh ikan goreng ditemani sayur daun singkong dan kangkung rebus plus sambel. Disediakan menu tambahan, bothok/ pepes ikan udang, tempe, tahu. Segelas minuman lokal bir temulawak dalam kemasan botol dengan es batu, memuaskan perut yang sedari pagi belum bertemu nasi. Siang hari dengan suhu udara cukup terik, semakin menambah kenikmatan menyantap gurihnya ikan goreng khas Banyuwangi. Sholat asar di masjid agung Baiturrohman terletak di alun-alun Sri Tanjung, merupakan masjid tertua yang dibangun pada abad 18 oleh Bupati pertama yaitu RT Wiraguna, yang makamnya berada di belakang masjid pada bangunan terpisah. Di salah satu pojok alun-alun, dan di tempat-tempat strategis yang lain, terdapat spanduk ukuran sedang dan menarik perhatian bagi siapapun.
Informasi APBD di Alun-alun
Pemerintah memasang spaduk informasi tentang besaran APBD per sektor pembangunan pada tahun berjalan, 2016. Salah satu bentuk pertanggungjawaban publik yang perlu diinformasikan dan diawasi oleh masyarakat. Tentu menjadi contoh bagi daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Masih menggunakan becak, mengunjungi pantai Boom yang terletak di dalam kota. Ada dua tempat, keduanya ada plang panandanya. yang berada di teluk, tempat mangkal kapal-kapal nelayan lokal dengan berbagai aneka warna. Dan, satu lagi berada ke dalam pantai dengan area lebih luas dan terbuka. Akses jalan masih berupa tanah campuran pasir. Pada sore hari banyak masyarakat sekitar berkunjung ke sini.

Hari kedua, persiapan ke gunung Ijen. Napak tilas perjalanan 33 tahun yang silam, tatkala penulis mroyek pengukuran untuk keperluan survei geothermal di lereng barat gunung Ijen, berupa kebun kopi Jampit, milik PTP XII. Baki, ojeg sekaligus pemandu yang akan menganter ke kawah Ijen, mengingatkan sebaiknya berangkat tengah malam,
Paltuding, desa terakhir sebelum mendaki Ijen
supaya bisa menyaksikan blue fire menjelang subuh sekaligus menghindari panas terik matahari. Disepakati untuk berangkat jam 02.00 dari hotel dengan tujuan desa terdekat, Paltuding, 1850 dpl (di atas permukaan laut). Perjalanan malam ditempuh selama 90'. Tiba di lokasi parkir kendaraan roda 2 dan 4 sudah banyak, pengunjung sudah banyak yang datang terlebih dulu atau bahkan bermalam di sini. Tersedia guest house yang disediakan perhutani setempat. sesuai informasi penjaga tiket, jarak ke puncak sekitar 3 km,dengan kondisi normal dengan ketinggian 2386 dpl, dapat ditempuh dalam waktu 60-90'. Untuk pehobi treking alam liar dengan usia kepala lima, jalur ijen cukup berat. karena gelap, perjalanan tidak terasa sampai puncak. menjelang subuh dari puncak gunung terlihat di kejauhan api biru, blue fire, di kawah ijen yang terletak di bawah. Blue fire, fenomena alam karena munculnya gas belerang dan bereaksi dengan udara. konon hanya ada dua di dunia, satu lagi di Eslandia. Untuk melihat blue fire lebih dekat, harus turun ke bibir kawah sebelum fajar terbit.
Rest Area
Kelerengan turun 45% dengan jalan sempit berbatu, perlu extra hati2 jika tidak ingin terjerambab. Kepadatan pengunjung dan kondisi jalan setapak terjal dan penerangan hanya mengandalkan lampu senter, menghambat untuk bisa turun menyaksikan lebih dekat fenomena bluefire. Penghargaan yang sangat tinggi sekaligus kagum kepada para pekerja lokal yang bermatapencaharian membawa belerang dari kawah menuju penampungan (Pondok Bunder) dengan upah hanya Rp1250,00/kilo. Kemampuan beban per orang 40-50 kg, maksimum dua kali bawa/rit. Dapat kita hitung berapa penghasilan mereka dalam sehari.
Kawah Ijen dengan keasaman nol, kedalaman 200 meter seluas +/- 5000 ha, air dengan kandungan hidroclorine yang sangat tinggi. Keriuhan suara pekerja memotong belerang yang keluar meleleh dan memadat setelah bereaksi dengan udara disertai kepulan asap yang sangat pekat, merupakan pemandangan unik sekaligus miris.
Perlahan dan pasti terbit matahari dari sisi tebing sebelah timur membuka pemandangan lebih benderang kondisi kawah ijen menjelang siang. Amazing. Menjelang siang, jam 09.00, puas dengan keindahan kawah Ijen, bersiap-siap untuk naik ke puncak gunung, dilanjutkan turun ke Paltuding. Di ketinggian 2214 dpl
Kawah Gunung Ijen
Pintu Gerbang Menuju Puncak Ijen
Pekerja Pengambil Belerang
beristirahat sejenak di Pondok Bunder, bangunan permanen bulat dengan arsitektur Belanda berwarna merah menyala. Dilihat dari kondisinya, sangat disayangkan sudah tidak berfungsi lagi sebagai tempat istirahat di setengah perjalanan. Beruntung terdapat bangunan semi permanen, selain sebagai posko petugas penjaga hutan, juga berfungsi sebagai warung minuman sekaligus istirahat bagi para pendaki. Minum teh hangat tanpa makanan cukup, lumayan untuk sekedar mengurangi kepenatan. "Lebih enak naik daripada naik", ujar Baki, pemandu kami, kala ditanya berat mana berangkat atau pulang, walau penulis merasa sebaliknya. Jalan tanah, sesekali berpasir, untuk mengurangi kelicinan jalan. Jalan berfungsi juga sebagai batas wilayah administrasi kab Banyuwangi dan Bondowoso.
Sebagai penanda batas wilayah, dipasang tugu beton setinggi satu meter dan lebar 50x50 cm tertera tulisan Jantop AD Kodam V Brawijaya.  Setelah menempuh satu setengah perjalanan, matahari cerah menyambut kedatangan di pos Paltuding, desa terakhir di kaki gunung Ijen. Perjalanan dilanjutkan menuju hotel Santika, Banyuwangi, istirahat dan persiapan destinasi selanjutnya.
Gedung Bunder

Istirahat sejenak menunggu sholat dhuhur untuk melanjutkan perjalanan di beberapa pantai terdekat. Untuk efisiensi dan persiapan perjalanan esok pagi, rental mobil merupakan alternatif yang terbaik. Dengan harga 375ribu per 24 jam, xenia keluaran terbaru siap menganter pengunjung menjelajah sudut-sudut kota sampai ujung selatan. Badha as'ar, perjalanan dilanjutkan ke pantai Watu Dodol. Sayang sekali hujan deras yang turun dengan tiba-tiba, menghalangi untuk dapat menikmati keindahan pantai.

Hari ketiga, menjelang subuh, Bambang, petugas hotel Wisma Blambangan mengetuk pintu kamar, siap menemani perjalanan ke pantai pulau Merah yang terletak di desa Sumber Agung, kec. Pesanggaran.
Tidak ada informasi yang dapat digunakan sebagai rujukan, kenapa dinamakan pulau Merah. Tidak ada pohon yang berdaun merah, tanah berwarna coklat, pasirnya putih, jika sedang surut daratan pulau dengan bukit kecil tidak berpenghuni, menyatu dengan pulau Jawa. Bahkan kalau mau, pengunjung bisa mendaki bukit setinggi 200 meter-an.  Seperti layaknya destinasi wisata pantai, tersedia beberapa penginapatan berupa rumah-rumah penduduk yang disulap menjadi homestay. Beberapa fasilitas mandi bilas terbuka, kursi malas pantai dengan tenda-tenda warna merah maron. Memberi kesan merah pada pantai pulau Merah. Warung-warung makanan berjejer siap melayani pengunjung yang lapar sehabis mandi di pantai. Kondisi pantai cukup bersih, ombak tidak terlalu besar, perahu nelayan tradisional dengan mesin tempel berjejer rapi. Sebagian perahu dengan 4-5 nelayan sedang siap-siap untuk melaut.

Perjalanan dilanjutkan ke pantai Mustika, secara geografis masih berada di wilayah yang sama tetapi fasilitas minimal. Satu pantai berada di seberang bukit, pantai Wedi Ireng. Informasi dari brosur yang tersedia di beberapa outlet hotel, keunikannya karena warna pasir yang berwarna hitam. Kendalanya akses ke lokasi dengan berjalan kaki  atau menggunakan perahu nelayan mengitari pantai Mustika.
Masih di wilayah yang sama, pantai Lampon berada sederetan dengan pantai-pantai yang ada. Pantai Lampon merupakan lokasi latihan tentara marinir, sehingga akses ke lokasi dibatasi. Kondisi terebut berdampak pada sedikitnya pengunjung yang berminat kesini. Kondisi pantai mirip dengan pantai pulau Merah, terdapat pulau yang yang menempel.

Pulau Merah
Waktu terus berjalan sementara destinasi wisata lain masih banyak yang belum dikunjungi, perjalanan pulang dan bersiap-siap meninggalkan Banyuwangi. Bambang rupanya tahu banyak tentang destinasi yang mesti dikunjungi dengan kondisi waktu yang terbatas ini. Sebelum masuk kota Banyuwangi mampir ke alas kota,
yaitu area seluas +/- 5 ha milik perhutani tempat menimbun kayu dengan kondisi pohon-pohon raksasa berumur puluhan tahun. Suasana rindang dan dingin, tidak salah kalau sering digunakan bagi pasangan yang akan menikah untuk pre-wedding photo session. Walaupun kondisi berupa tanah, sehabis hujan genangan air mengurangi kenikmatan menghirup udara rimbun pohon trembesi raksasa. Tiga hari dua malam rasanya waktu yang terlalu singkat untuk dapat mengunjungi seluruh destinasi wisata kabupaten Banyuwangi.  Selamat untuk masyarakat Banyuwangi, anda harus bangga dengan Bupati yang mengerti betul bagaimana mengelola wilayah dengan potensi wisata yang layak jual.
Dengan Pekerja Pembawa Belerang, sedang istirahat
Pantai Pulau Merah
Nelayan pantai Mustika
Radio Osing
Alun-alun Blambangan
Pantai Watudodol