(novel Langit Kresna Haryadi)
Api itu berada di dalam sekam.
Belum berkobar, akan tetapi pada suatu ketika bisa berkobar, sementara negara ibarat perahu, beberapa besar pun perahu itu, ia di tengah lautan luas yang memberinya berlimpah ombak, bisa terombang-ambing terguncang-guncang. Boleh jadi ombak besar itu akan mereda dan selamatlah perahu itu namun bisa pula ombak itu menggulungnya hingga habis tidak bersisa tenggelam seujung tiangnya. Hal yang demikian bisa terjadi pada Majapahit, apalagi apabila salah dalam mengelola. Majapahit tidak pernah lepas dari perjalanan Singasari dan merupakan kepanjangan kisahnya. Singasari awal mutanya berasal dari sebuah Pakuwon' kediri bernama Tumapel, disebut demikian karena di tempat itu tumbuh banyak sekali buah apel,yang semula diperintah oleh Tunggul Ametung karena kejadian luar biasa, pemerintahnya beralih ke tangan Ken Arok , sang pendiri trah Girindrawangsa atau Rajasawangsa.
Ken Arok.
Ken Arok, ia hanya maling kecil yang sesekali mencegat orang lewat untuk dirampas harta bawaannya. Namun Dang Acarva Nadendra menengarai Ken Arok, walau ia seorang maling, sejatinya titisan dewa. Demikianlah Dang Acarya Nadendra yang menggunakan nama sandi Pancaksara dan juga nama sandi Prapanca itu menuliskannya dalam kakawin berjudul Desawernana, menjadi pembuka kisah tentang Majapahit kepada orang-orang di zaman mendatang. Ken Arok adalah anak Ken Endok yang bersuami Gajah Para dari Desa Pangkur, namun sejak kecil harus berjibaku dengan kepahitan hidup. Mungkin kedua orang tuanya tidak peduli atau mungkin sudah mati menempatkan Ken Arok harus bertahan menghadapi kepahitan hidup, tidak ada pilihan lain Ken Arok terpaksa harus menyambung hidup dengan cara menjadi pencuri. Brahmana Lohgawe', sebagaimana dituturkan oleh Dang Acarya Ratnamsa kepada Dang Acarya Nadendra yang mengikuti perjalanan Prabu Hayam Wuruk mengunjungi wilayah kekuasaannya, brahmana itu menandai tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok itu. Brahmana Lohgawe menandainya sejak menemukan jejak maling itu di padang rumput yang banyak dihuni binatang liar bemama Karautan. Brahmana Lohgawe mengentaskan Ken Arok dan membawanya menghadap Akuwu Tunggul Ametung yang memiliki istri yang kecantikannya tiada tara,Ken Dedes. Apabila semula Brahmana Lohgawe berhasil menerjemahkan tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok, hal yang sama ditangkap Lohgawe ketika melihat pertanda gaib pada diri Ken Dedes. Brahmana Lohgawe curiga, Ken Dedes adalah perempuan utama yang memegang pertanda gaib Arbanareswari.
Ken Arok terlebih-lebih, is sangat tertegun melihat kecantikan istri Akuwu itu. "Kelak aku harus bisa merebutnya," janji Ken Arok pada diri sendiri. Ken Arok sama sekali tidak peduli meski Ken Dedes sedang dalam keadaan hamil. Ken Arok menjadi prajurit di Tumapel, bersahabat erat dengan Kebo Ijo. Sahabat bisa jadi merupakan tempat berbagi keluh kesah, namun Ken Arok memiliki cara pandang yang berbeda. Sahabat bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja, tempat mengeluh, namun bisa juga untuk keperluan lain, misalnya untuk melepas fitnah sebagai batu loncatan
untuk meraih cita-cita.
Mula-mula ia memesan sebuah keris kepada seorang Empu pembuat dhuwung bernama Gandring Bari Lulumbang, sebuah tempat yang berada tidak jauh dari Madakaripura, hanya sehari perjalanan dari kota pelabuhan Ywangga. Empu Gandring adalah pembuat dhuwung yang hebat dan terkenal hingga ke empat penjuru langit, keris buatannya terkenal hingga ke Tumasek dan ada yang dibawa ke Tartar, sebuah negeri yang bertempat jauh di barat di mana di sana tapal batas tempat matahari terbenam. Keris buatan Empu Gandring semua berjiwa, yang dipahatkan itu melalui tapa brata yang dilakukan berbulan-bulan yang dibuat dengan bahan bake yang bukan dari biji besi sembarangan. Logam yang digunakan merupakan logam pilihan yang dicampur dengan batu bintang, menjadikan semua keris buatan Empu Gandring memiliki kelebihan Bari dhuwungrautan empu yang lain. Ken Arok memesan keris itu kepadanya. Namur Ken Arok adalah prajurit yang tidak memiliki cadangan kesabaran. Beberapa kali is mengunjungi Empu Gandring untuk melihat sudah sampai sejauh mana pembuatan keris yang dipesannya. Ken Arok terpaksa pulang dengan menggigit jari berulang-kali, itu karena pembuatan keris yang dilakukan Empu Gandring memang rumit. Terakhir, bilah keris memang telah teraut bagus, akan tetapi itu pun masih belum selesai karena gagang yang digunakannya masih sementara, gagang cangkring. Ken Arok yang menyimpan rencana jangka panjang tidak sabar. Empu Gandring pasti tidak pernah menyangka, bahkan bermimpi pun tidak, ketika dengan hati beku dan dingin Ken Arok membenamkan keris yang masih belum tuntas pembuatannya itu. Empu Gandring menggeliat dengan tangan mengenggam perut yang tertembus senjata pusaka hasil rautannya. namun tentu Empu Gandring tidak bisa menerima kematin ini. Itulah sebabnya dari multunya terlontar kutukan yang menyebabkan Ken Arok gemetar. "Eling eling Ken Arok, sira den eling, tibaning supata piwalesing awak mami, sira nemahi palastra, " Kata Empu Gandring dengan suara terbata.
Ken Arok adalah mantan seorang maling, otaknya licik dan menyimpan banyak sisat culas. Keris yang baru diperoleh itu dihadiahkan kepada Kebo Ijo, teman yang memilikibanyak manfaat. Nyaris semua orang di Tamapel pada tahu, Kebo Ijo memiliki keris yang dahsyat. Kemana-mana Kebo Ijo pamer kerisnya, hal yang dkemudian menjadi malapetaka yang tidak terbayangkan.
Tengah malam ketika Kebo Ijo tertidir pulas,Ken Arok Menyelinap masuk mencuri keris itu. Ken Arok berbegas menuntaskan rencananya, sungguh bukan pekerjaan yang rumit bagi Ken Arok untuk
menyelinap ke tempat tidur Akuwu Tunggul Ametung, karena ia seorang maling dan jiwa maling itu tidak pernah lenyap. Ken Dedes yang terbangun hanya tertegun melihat Ken Arok, prajurit yang
dikenalnya dengan baik menyelinap masuk dan membunuh suaminya. Pada Ken Dedes, Ken Arok meletakkan ujung jarinya ke mulut sebagi isyarat agar Ken Dedes tutup mulut,tenggelam di dada Tunggul Ametung. Kebo Ijo sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi ketika dengan beringas Ken Arok membunuhnya, dengan menggunakan keris yang sama atas nama tuduhan yang tidak pernah ia lakukan, membunuh Sang Akuwu. Berangkali Ken Arok sempat membisikkan kata-kata, pangapuramu Kebo Ijo, aku butuh patimu minangka paneadan nggonku nggayuh impenkul. Kebo ljo mati dengan tuduhan telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung, menempatkan Ken Arok sebagai pahlawan dan bahkan mewarisi tak hanya kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung akan tetapi sekaligus juga jandanya. Konon Ken Dedes adalah seorang Ardhanareswari, tanda-tanda itulah yang menyebabkan Ken Arok dengan menggebu mengawminnya, meski di samping Ken Dedes Ken Arok juga mengawini Ken Umang, yang kelak di kemudian hari akan memberi sumbangan atas betapa mendidih dan panas perjalanan sejarah Singasari. Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya yang juga bernama Prabu Dandang Gendis amat marah karena di hari-hari Pisowanan Agung' tidak hadir utusan dan Tumapel yang oleh karena telah beberapa kali berulang terjadi, Kediri menganggap Tumapel melakukan makar.
Tanpa tedeng aling-aling Ken Arok menyatakan tidak lagi meng-akui Kediri sebagai negara yang membawahi Tumapel. Kertajaya yang murka segera mengeraahkan pasukannya untuk menggebuk Ken Arok, akan tetapi Raja Kediri itu tidak menduga sama sekali bakal menghadapi musuh yang membabi-buta dalam berperang. Tumapel memang kalah dalam jumlah, namun memenangkan pertempuran. Ken Arok telah berhasil merobohkan pilar-pilar istana Kediri itu akirnya mendirikan sebutan negara dengan nama Kutaraja,dengan menghapus nama Tumapel dan menempatkan diri sebagai raja pertama Sri Rangga Rajasa Sang Awurpabumi. Kemelut pun terjadi sejalan dengan waktu yang bergerak, dipicu oleh keinginan Ken Arok menempatkan Tojoyo sebagai Pangeran Adipati, padahal jauh sebelumnya telah berjanji untuk menempatkan Anusapati sebagai Putera Mahkota. Dahulu, ketika Ken Arok merayu Ken Dedes agar mau menjadi istrnya, Ken Dedes mensyaratkan anaknya yang akan lahir harus ditempatkan sebagai putera mahkota. Sejalan waktu berlalu, rupanya Ken Arok merasa risih melihat Anusapati yang bukan anak kandungnya itu. Wajah Anusapati mengingatkan Ken Arok pada AkUwU Tunggul Ametung. Caranya berjalan, tatapan mata-nya dan senyunmya yang mengerucut amat mirip Tungul Ametung, maklum benih Tunggul Ametung mengalir di darah Anusapati.
Dikesampingkan ayahnya, dianaktirikan dengan terang-terang, Anusapati mengorek keterangan dari Ibunya. Mendidih darah Anusapati ketika mendengar cerita tentang kematian ayah kandungnya,
Akuwu Tunggul Ametung dibunuh dengan licik oleh Ken Arok melalui menempatkan Kebo Ijo sebagai terfitnah. Maka Anusapati belajar dari Ken Arok, Anusapati meniru apa yang dilakukan mantan maling dari Padang Karautan yang menjadi ayah tirinya itu. Anusapati mengasah Pengalasan Batil membunuh Ken Arok menggunakan keris yang sama, keris rakitan Empu Gandring, yang dilakukan itu ketika hari sedang senja. Cerita berdarah itu masih berlanjut dengan Pengalasan Batil ikut meregang nyawa ketika Anusapati membenamkan keris Empu Gandring tepat ke belahan dadanya. Anusapati melakukan itu dengan alasan yang sama seperti yang dilakukan Ken Arok pada Kebo Ijo, untuk menghapus jejak. Anusapati naik takhta dengan menjalin hubungan yang erat dengan Mahisa Wong A Teleng, adiknya yang terlahir dari perkawinan Ken Dedes dengan Ken Arok. Namun perjalanan pemerintahan Anusapati harus juga berakhir di ujung keris Empu Gandring. Dendam dibayar kematian, Tohjaya anak Ken Arok dari istri Ken Umang membalaskan kematian ayahnya. Terlena dalam permainan adu jago yang dilakukan di sebuah pasar, Tohjaya mendapat kesempatan melolos keris Empu Gandring dan menikamkan ke pinggang Anusapati. Darah dibayar darah, dendam harus dilunasi.
Anak Anusapati tidak bisa menerima kematian ayahnya di tangan pamannya. Anusapati bahu-membahu dengan Mahisa Cempaka,anak Mahisa Wong A Teleng melakukan perawanan hingga akhirnya Tohjaya yang tidak mampu menguasai keadaan harus melarikan diri dengan ditandu oleh para prajuritnya. Untung tidak bisa diraih malang tidak bisa ditolak, salah seorang pengusung tandunya tersandung dan ambruklah tandu menempatkan Tohjaya tidak hanya sebagai raja terjungkal dari kekuasaannya namun benar-benar sebagai raja yang terjungkal dari alat pemikulnya. Marah Tohjaya dan melampiaskannya dengan menendang prajurit itu, akan tetapi prajurit itu merasa memiliki harga diri yang tidak boleh dihinakan meski oleh seorang Raja. Dengan cekatan ia merampas keris Empu Gandring dan menebaskan pusaka itu ke perut Tohjaya. Mati Tohjaya melalui cara mengenaskan, Tohjaya melarikan diri dari Istana yang riuh oleh peperangan dalam rangka mencari selamat namun tetap saja kematian itu datang menjemputnya. Keris Empu Gandring membuktikan dendam kutukan pembuatnya.
Haruskah kutukan Empu Gandring itu tetap berlanjut?
Ranggawuni dan saudara sepupunya Mahisa Cempaka akhirnya mampu menjalankan pemerintahan atas Kutaraja yang berubah nama menjadi Singasari dengan aman tenang dan damai. Adakah hal itu terjadi setelah keris buatan Empu Gandring yang membawa kemarahan pemiliknya telah dilarung dengan diceburkan ke puncak Mahameru yang sedang mendidih ? Setidaknya, Narasinga dan Ratu Angabaya menjalankan pemerintahan secara bersama-sama saling bahu-membahu.
Sri Kertanegara keturunan Ken Dedes dari jalur Ranggawuni akhirnya menjadi raja yang termasyhur di sepanjang perjalanan sejarah Singasari, sekaligus merupakan Raja Singasari yang hidupnya harus berakhir juga dengan cara menyedihkan sebagai akibat dari dendam lama, kali ini bukan dendam saling bantai antar keluarga akan tetapi dari Kediri yang selalu mencari celah dan kesempatan untuk membalas apa yang terjadi di Ganter, perang yang memangkas habis kisah hidup Kediri dan Prabu Kertajaya di tahun 1222, Prabu Jayakatwang, penulis Kidung Wukir Polaman yang kini berbicara.
Ibukota Kediri sedang tidak terlindungi oleh bala tentaranya yang sedang dikirim ke ranah Melayu untuk ngelar jajahan, menundukkan beberapa negara di tempat itu dan memaksanya bersatu di bawah
panji-panji gula kelapa. Menyadarkan negara-negara di ranah Sumatera untuk bersedia bersatu baik secara sadar dan sukarela atau dengan cara dipaksa. Sri Kertanegara berkepentingan mengedepankan
persatuan dan kesatuan khususnya di wilayah Dwipantara dikarenakan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Kala itu, Singasari kedatangan tamu tak diundang, utusan Kubhilai Khan dari Mongol yang meminta kepada Singasari agar dengan sukarela mau tunduk menjadi negara bawahan Mongol. Keinginan Kubhilai Khan itu menyebabkan Sri Kertanegara sangat murka karena merasa dilecehkan.Utusan Tartar bemama Mengkhianati dipotong telinganya dan dilukai wajahnya, yang sekaligus merupakan jawaban yang diberikan Singasari. Untuk menjamin agar jangan sampai peristiwa itu terjadi lagi, Sri Kertanegara tidak punya pilihan lain kecuali menundukkan negara-negara di wilayah Sumatera yang merupakan pintu gerbang masuk menuju Singasari. Hanya dengan mempersatukan Nusantara itulah nafsu Kubhilai Khan yang ingin melebarkan kekuasaan ke Nusantara bisa diredam. Sri Kertanegara sadar bahwa untuk menghadapi Kubhilai Khan dibutuhkan bala tentara yang sangat besar.
Keadaan negara yang sedang kosong itu dimanfaatkan oleh Bupati Sumenep, Arya Wiraraja yang kecewa karena pangkat dan jabatannya sebagai Demang dilorot oleh Sri Kertanegara. Arya Wiraraja
mengabari Jayakatwang, menyarankan Raja Kediri itu untuk melakukan serbuan mumpung Singasari sedang dalam keadaan kosong. Raja Jayakatwang yang merasa pada dirinya mengalir darah Kediri melihat kesempatan yang telah lama ditunggu. Dipimpin oleh Kebo Mundarangi , serbuan dilakukan dengan siasat membelah pasukan menjadi dua. Sebagian pasukan mengobrak-abrik Mameling di arah utara menyembunyikan pasukan yang lebih besar yang akan menyerbu Kotaraja Singasari dari arah selatan. Menantu raja, Raden Wijaya, anak Dyah Lembu Tal dan berada pada garis keturunan Mahisa Cempaka diperintahkan menghadang serbuan Jayakatwang yang tidak pernah diduga itu. Raden Wijaya memang berhasil meredam musuh di Mameling, namun yang tidak pernah diduga adalah, ketika kembali ke Kotaraja mendapati Istana telah terbakar hangus. Sri Kertanegara dan permaisuri Bajrawati gugur dalam pembantaian itu. Maka terbirit-birit Raden Wijaya bersama para pendukungnya berusaha menyelamatkan diri hingga ke Sumenep dan mendapat perlindungan Arya Wiraraja. Arya Wiraraja berotak culas atau entah apa maksudnya, ia menyarankan kepada Raden Wijaya untuk menyerah dan memohon ampun kepada Jayakatwang. Permohonan ampun itu diterima dan kepada Raden Wijaya dihadiahkan tanah Trik untuk dibuka sebagai tempat di mana ia boleh membuka sebuah wilayah. Di tanah Trik Raden Wijaya membabat hutan bersama pendukungnya. Wilayah yang dibuka itu kemudian diberi nama Wilwatikta hanya karena sebuah alasan, di tempat itu telah ditemukan buah maja yang berasa pahit. Betapa murka Kubhilai Khan mendapati ancamannya tidak ditanggapi oleh Raja Singasari yang menyatakan tidak mau tunduk menjadi 'gedibal' Tartar, tidak hanya itu, simpul syaraf kemarahannya yang paling peka tersentuh melihat utusannya dicederai. Kubhilai Khan mengirim ribuan bala tentara ke tanah Jawa untuk menjatuhkan hukuman kepada Sri Kertanegara, rombongan bala tentara itu sama sekali tidak tahu orang yang menjadi sasaran bidiknya telah tiada. Raden Wijaya yang menangkap berita kedatangan bala tentara Tartar itu bergegas menyambut mereka dan membelokkan serbuan itu ke Kediri dan berhasil meringkus Jayakatwang. Balatentara Tartar yang menyelenggarakan pesta kemenangan sama sekali tidak menyangka Raden Wijaya memberikan sebuah serangan mendadak yang sungguh menyebabkan bala tentara dari seberang lautan itu kocarkacir, ribuan dari mereka mati terbunuh. Serangan dadakan yang dilakukan dengan gemilang itu menyebabkan bala tentara Tartar melarikan diri, sebagian lain menyatakan tunduk dan tingga1 di Jawa, di antaranya bertempat di Wengker yang tidak jauh dari Pamotan.
Dengan berhasil dibalasnya perbuatan Kediri yang telah membunuh mertuanya dan telah berhasil mengusir bala tentara dari Mongol, Raden Wijaya mengumandangkan 'pranyatan kamandikan' atas berdirinya negara Majapahir. Raden Wijaya yang mengawini empat dari lima anak perempuan Prabu Kertanegara itu menyatakan dirinya sebagai Raja pertama Majapahit dengan nama Kertarajasa Jayanegara.Lembu Anabrang yang memimpin bala tentara Singosari dalam rangka pemekaran wilayah ke Sumatera terkejut mendapat Singasari telah tiada. Lembu Anbrang menyerahkan dua putri boyongan, masing-masing Dara Petak dan Dara Jingga dari Dharmasraya kepada Raden Wijaya. Yang muda dari kedua gadis itu dikawini Raden Wijaya. dari Dara Petak itulah lahir Kalagemet.
Perjalanan Majapahit ternyata tidak berjalan mulus.
Dari Tuban, Adipati Ranggalawe menyatakan rasa tidak sukanya melihat bukan dirinya yang diangkat Mahapatih padahal Ranggalawe beranggapan. ia yang lebih banyak membuat jasa daripada Nambi yang diangkat menjadi Patih Hamangkubumi itu. Namun cerita tentang pemberontakan tak hanya diberikan oleh Ranggalawe, karena Mahapatih Nambi juga terpaksa mengangkat senjata menempatkan diri berhadapan dengan Majapahit dengan membangun benteng di Pajarakan. Nambi melakukan itu sebagai akibat dari fitnah yang ditebar Mahapati yang sangat ingin menggantikan kedudukannya. Dendang makar selanjutnya juga dikumandangkan dari Lasem. Seorang anggota dari Dharmaputa Winebsuka bemama Rakrian Semi oleh sebuah alasan menyatakan memberontak dari kekuasaan Majapahit. Namun cerita tentang makar yang berbahaya adalah yang dilakukan oleh Dharmaputra Winebsuka Rakrian Kuti yang didukung oleh Rakrian Wedeng, Rakrian Pangsa, Rakrian Banyak, Rakrian Yuyu dan Rakrian Tanca. Makar itu bahkan menyebabkan Gajah Mada pimpinan prajurit berpangkat Bekel harus pontang-panting menyelamatkannya hingga ke Bedander. Gajah Mada yang kembali ke Kotaraja menggalang kekuatan dan berhasil menumpas pemberontakan Rakrian Kuti, dari kelompok Dharmaputra Winebsuka ini hanya Rakrian Tanca yang diampuni karena sangat dibutuhkan kemampuannya dalam bidang pengobatan. Namun 9 tahun setelah
pemberontakan Rakrian Kuti, Kalagemet atau Jayanegara tetap mati juga dibunuh oleh Rakrian Tanca melalui racunnya. Rakrian Tanca terhenyak ketika Gajah Mada membenamkan keris ke perutnya.
Sepeninggal Prabu Jayanegara yang tidak memiliki keturunan, maka Sri Gitarja Tribuana Tunggadewi Jayawisnuwardani secara bersama-sama dengan adiknya, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa 4 menggelar pemerintahan bersama. Di masa pemerintahan inilah, dengan disaksikan oleh kedua Prabu Putri dan masing-masing suaminya, Raden Cakradara dan Raden Kundamerta disaksikan pula oleh mantan Mahapatih Arya Tadah yang sebelumnya menggantikan Mahapatih Dyah Halayuda, disaksikan segenap Tandha dari pipinan prajurit yang dilakukan oti Tatag Rambat Bale Manguntur. Gajah Mada yang diangkat menjadi Mahapatih menggantikan Arya Tadah mengumandangkan sumpah yang menggegerkan, sumpah sakti yang menjadi pijakan awal untuk membawa Maajapahit menuju kejayaan gemilang, Sumpah Palapa, yang kemudian menjadi pijakan semangat untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Sebagai orang kedua di Majapahit, Gajah Mada mendapat gelar kehormatan sang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Mpu Mada.
Dengan menggenggam semangat Camunda dan menggusur semangat aksobya Gajah Mada berhasil membawa Nusantara menjadi satu kesatuan yang utuh, beberapa negara tetangga yang saling bermusuhan antara satu dan lainnya dihimbau untuk mau bersatu bahu-membahu menghadapi musuh yang sama, Tartar yang berusaha mati-matian menyelinap kembali menanamkan pengaruhnya. Bagi yang bersedia bersatu dengan suka rela diterima dengan terbuka, namun kepada negara yang membangkang apa boleh buat harus digebuk. Bali diserbu, demikian pula dengan Dompo di Sumbawa dan Tumasek di ujung barat yang di ujung hari bernama Singappura, diserang. Namun perjalanan Gajah Mada tidaklah mulus tanpa batu sandungan. Bahwa untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara apabila perlu memang harus dengan pemaksaan. Gajah Mada kecewa karena di pekarangan sendiri, Sunda Galuh2 justru tidak mau menyatakan bersatu. Hubungan kekerabatan yang ada menjadi perintang bagi Gajah Mada untuk memaksa Sunda Galuh di Kawali untuk tunduk. Penyerbuan ke negara itu ditentang oleh banyak kerabat Istana berdasar sebuah alasan, Raden Wijaya terlahir dari perkawinan Dyah Lembu Tal dengan bangsawan Sunda. Adalah Prabu HayamWuruk yang ketika itu berusia 23 tahun merasa membutuhkan seorang permaisuri, dari banyak pilihan jatuhlah pada Dyah Pitaloka Citraresmi yang cantik jelita. Pinangan atas Dyah Pitaloka, anak Prabu Maharaja Linggabuana dari Sunda Galuh dimanfaatkan oleh Gajah Mada. Pesta perkawinan besar-besaran itu diselenggarakan di Majapahit dengan alasan diselenggarakan bersamaan dengan digelarnya Pasewakan yang akan dihadiri oleh segenap utusan negara. Gajah Mada menghadang rombongan tamu yang telah berdandan cara pengantin itu dan mensyaratkan segenap tamu dari Sunda boleh naik ke Tatag Rambat Bale Manguntur apabila sebelumnya menyatakan tunduk menjadi negara bawahan Majapahit. Rombongan dari Sunda Galuh terhenyak dengan kehormatan yang bagai
dikoyak. Tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menjaga kehormatan.
Lengser
Melihat di mana-mana prajurit telah mengepung, prajurit Sunda yang jumlahnya tak lebih dari seratus orang itu mengamuk. Prabu Maharaja Linggabuana terbunuh disusul oleh Istrinya yang lampus diri.
Dyah Pitaloka dengan senang hati dan tanpa keraguan mengikuti jejak ibunya. Itulah saat di mana Prabu Hayam Wuruk benar-benar terpukul dan menyalahkan Gajah Mada, hubungan menjadi sangat memburuk Gajah Mada yang tahu diri melepaskan jabatan dan pilih menyepi Madakaripura. Hayam Wuruk kehilangan gairah hidup karena gadis yang didamba berakhir kisah hidupnya dengan cara yang sangat menyedihkan. Ia jalani perkawinannya dengan Sri Sudewi, adik sepupunya sendiri dengan perasaan hambar meski dari perkawinan itu lahir Kusumawardani. Hayam Wumk, akhirnya menemukan cintanya kembali kepada seorang gadis sederhana, ia bukan siapa-siapa, darahnya tidak berwarna biru. Dari perkawinan dengan Biniaji itu lahirlah Breh Wirabumi yang berwajah tampan karena berasal dari bibit Ibu yang cantik dan ayah yang tampan, hanya sayang, seorang pujangga yang menulis Serat Damarwulan, pujangga yang menempatkan diri berpihak pada isrtri tua, menulis kisah yang buruk atas sosok Breh Wirabumi, yang diberi nama ejekan Minak Jingga. Maka perebutan kekuasaan yang terjadi itu menjadi awal Perang Paregrek, perangnya para ingkang samya egrek.
Api itu berada di dalam sekam.
Belum berkobar, akan tetapi pada suatu ketika bisa berkobar, sementara negara ibarat perahu, beberapa besar pun perahu itu, ia di tengah lautan luas yang memberinya berlimpah ombak, bisa terombang-ambing terguncang-guncang. Boleh jadi ombak besar itu akan mereda dan selamatlah perahu itu namun bisa pula ombak itu menggulungnya hingga habis tidak bersisa tenggelam seujung tiangnya. Hal yang demikian bisa terjadi pada Majapahit, apalagi apabila salah dalam mengelola. Majapahit tidak pernah lepas dari perjalanan Singasari dan merupakan kepanjangan kisahnya. Singasari awal mutanya berasal dari sebuah Pakuwon' kediri bernama Tumapel, disebut demikian karena di tempat itu tumbuh banyak sekali buah apel,yang semula diperintah oleh Tunggul Ametung karena kejadian luar biasa, pemerintahnya beralih ke tangan Ken Arok , sang pendiri trah Girindrawangsa atau Rajasawangsa.
Ken Arok.
Ken Arok, ia hanya maling kecil yang sesekali mencegat orang lewat untuk dirampas harta bawaannya. Namun Dang Acarva Nadendra menengarai Ken Arok, walau ia seorang maling, sejatinya titisan dewa. Demikianlah Dang Acarya Nadendra yang menggunakan nama sandi Pancaksara dan juga nama sandi Prapanca itu menuliskannya dalam kakawin berjudul Desawernana, menjadi pembuka kisah tentang Majapahit kepada orang-orang di zaman mendatang. Ken Arok adalah anak Ken Endok yang bersuami Gajah Para dari Desa Pangkur, namun sejak kecil harus berjibaku dengan kepahitan hidup. Mungkin kedua orang tuanya tidak peduli atau mungkin sudah mati menempatkan Ken Arok harus bertahan menghadapi kepahitan hidup, tidak ada pilihan lain Ken Arok terpaksa harus menyambung hidup dengan cara menjadi pencuri. Brahmana Lohgawe', sebagaimana dituturkan oleh Dang Acarya Ratnamsa kepada Dang Acarya Nadendra yang mengikuti perjalanan Prabu Hayam Wuruk mengunjungi wilayah kekuasaannya, brahmana itu menandai tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok itu. Brahmana Lohgawe menandainya sejak menemukan jejak maling itu di padang rumput yang banyak dihuni binatang liar bemama Karautan. Brahmana Lohgawe mengentaskan Ken Arok dan membawanya menghadap Akuwu Tunggul Ametung yang memiliki istri yang kecantikannya tiada tara,Ken Dedes. Apabila semula Brahmana Lohgawe berhasil menerjemahkan tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok, hal yang sama ditangkap Lohgawe ketika melihat pertanda gaib pada diri Ken Dedes. Brahmana Lohgawe curiga, Ken Dedes adalah perempuan utama yang memegang pertanda gaib Arbanareswari.
Ken Arok terlebih-lebih, is sangat tertegun melihat kecantikan istri Akuwu itu. "Kelak aku harus bisa merebutnya," janji Ken Arok pada diri sendiri. Ken Arok sama sekali tidak peduli meski Ken Dedes sedang dalam keadaan hamil. Ken Arok menjadi prajurit di Tumapel, bersahabat erat dengan Kebo Ijo. Sahabat bisa jadi merupakan tempat berbagi keluh kesah, namun Ken Arok memiliki cara pandang yang berbeda. Sahabat bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja, tempat mengeluh, namun bisa juga untuk keperluan lain, misalnya untuk melepas fitnah sebagai batu loncatan
untuk meraih cita-cita.
Mula-mula ia memesan sebuah keris kepada seorang Empu pembuat dhuwung bernama Gandring Bari Lulumbang, sebuah tempat yang berada tidak jauh dari Madakaripura, hanya sehari perjalanan dari kota pelabuhan Ywangga. Empu Gandring adalah pembuat dhuwung yang hebat dan terkenal hingga ke empat penjuru langit, keris buatannya terkenal hingga ke Tumasek dan ada yang dibawa ke Tartar, sebuah negeri yang bertempat jauh di barat di mana di sana tapal batas tempat matahari terbenam. Keris buatan Empu Gandring semua berjiwa, yang dipahatkan itu melalui tapa brata yang dilakukan berbulan-bulan yang dibuat dengan bahan bake yang bukan dari biji besi sembarangan. Logam yang digunakan merupakan logam pilihan yang dicampur dengan batu bintang, menjadikan semua keris buatan Empu Gandring memiliki kelebihan Bari dhuwungrautan empu yang lain. Ken Arok memesan keris itu kepadanya. Namur Ken Arok adalah prajurit yang tidak memiliki cadangan kesabaran. Beberapa kali is mengunjungi Empu Gandring untuk melihat sudah sampai sejauh mana pembuatan keris yang dipesannya. Ken Arok terpaksa pulang dengan menggigit jari berulang-kali, itu karena pembuatan keris yang dilakukan Empu Gandring memang rumit. Terakhir, bilah keris memang telah teraut bagus, akan tetapi itu pun masih belum selesai karena gagang yang digunakannya masih sementara, gagang cangkring. Ken Arok yang menyimpan rencana jangka panjang tidak sabar. Empu Gandring pasti tidak pernah menyangka, bahkan bermimpi pun tidak, ketika dengan hati beku dan dingin Ken Arok membenamkan keris yang masih belum tuntas pembuatannya itu. Empu Gandring menggeliat dengan tangan mengenggam perut yang tertembus senjata pusaka hasil rautannya. namun tentu Empu Gandring tidak bisa menerima kematin ini. Itulah sebabnya dari multunya terlontar kutukan yang menyebabkan Ken Arok gemetar. "Eling eling Ken Arok, sira den eling, tibaning supata piwalesing awak mami, sira nemahi palastra, " Kata Empu Gandring dengan suara terbata.
Ken Arok adalah mantan seorang maling, otaknya licik dan menyimpan banyak sisat culas. Keris yang baru diperoleh itu dihadiahkan kepada Kebo Ijo, teman yang memilikibanyak manfaat. Nyaris semua orang di Tamapel pada tahu, Kebo Ijo memiliki keris yang dahsyat. Kemana-mana Kebo Ijo pamer kerisnya, hal yang dkemudian menjadi malapetaka yang tidak terbayangkan.
Tengah malam ketika Kebo Ijo tertidir pulas,Ken Arok Menyelinap masuk mencuri keris itu. Ken Arok berbegas menuntaskan rencananya, sungguh bukan pekerjaan yang rumit bagi Ken Arok untuk
menyelinap ke tempat tidur Akuwu Tunggul Ametung, karena ia seorang maling dan jiwa maling itu tidak pernah lenyap. Ken Dedes yang terbangun hanya tertegun melihat Ken Arok, prajurit yang
dikenalnya dengan baik menyelinap masuk dan membunuh suaminya. Pada Ken Dedes, Ken Arok meletakkan ujung jarinya ke mulut sebagi isyarat agar Ken Dedes tutup mulut,tenggelam di dada Tunggul Ametung. Kebo Ijo sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi ketika dengan beringas Ken Arok membunuhnya, dengan menggunakan keris yang sama atas nama tuduhan yang tidak pernah ia lakukan, membunuh Sang Akuwu. Berangkali Ken Arok sempat membisikkan kata-kata, pangapuramu Kebo Ijo, aku butuh patimu minangka paneadan nggonku nggayuh impenkul. Kebo ljo mati dengan tuduhan telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung, menempatkan Ken Arok sebagai pahlawan dan bahkan mewarisi tak hanya kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung akan tetapi sekaligus juga jandanya. Konon Ken Dedes adalah seorang Ardhanareswari, tanda-tanda itulah yang menyebabkan Ken Arok dengan menggebu mengawminnya, meski di samping Ken Dedes Ken Arok juga mengawini Ken Umang, yang kelak di kemudian hari akan memberi sumbangan atas betapa mendidih dan panas perjalanan sejarah Singasari. Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya yang juga bernama Prabu Dandang Gendis amat marah karena di hari-hari Pisowanan Agung' tidak hadir utusan dan Tumapel yang oleh karena telah beberapa kali berulang terjadi, Kediri menganggap Tumapel melakukan makar.
Tanpa tedeng aling-aling Ken Arok menyatakan tidak lagi meng-akui Kediri sebagai negara yang membawahi Tumapel. Kertajaya yang murka segera mengeraahkan pasukannya untuk menggebuk Ken Arok, akan tetapi Raja Kediri itu tidak menduga sama sekali bakal menghadapi musuh yang membabi-buta dalam berperang. Tumapel memang kalah dalam jumlah, namun memenangkan pertempuran. Ken Arok telah berhasil merobohkan pilar-pilar istana Kediri itu akirnya mendirikan sebutan negara dengan nama Kutaraja,dengan menghapus nama Tumapel dan menempatkan diri sebagai raja pertama Sri Rangga Rajasa Sang Awurpabumi. Kemelut pun terjadi sejalan dengan waktu yang bergerak, dipicu oleh keinginan Ken Arok menempatkan Tojoyo sebagai Pangeran Adipati, padahal jauh sebelumnya telah berjanji untuk menempatkan Anusapati sebagai Putera Mahkota. Dahulu, ketika Ken Arok merayu Ken Dedes agar mau menjadi istrnya, Ken Dedes mensyaratkan anaknya yang akan lahir harus ditempatkan sebagai putera mahkota. Sejalan waktu berlalu, rupanya Ken Arok merasa risih melihat Anusapati yang bukan anak kandungnya itu. Wajah Anusapati mengingatkan Ken Arok pada AkUwU Tunggul Ametung. Caranya berjalan, tatapan mata-nya dan senyunmya yang mengerucut amat mirip Tungul Ametung, maklum benih Tunggul Ametung mengalir di darah Anusapati.
Dikesampingkan ayahnya, dianaktirikan dengan terang-terang, Anusapati mengorek keterangan dari Ibunya. Mendidih darah Anusapati ketika mendengar cerita tentang kematian ayah kandungnya,
Akuwu Tunggul Ametung dibunuh dengan licik oleh Ken Arok melalui menempatkan Kebo Ijo sebagai terfitnah. Maka Anusapati belajar dari Ken Arok, Anusapati meniru apa yang dilakukan mantan maling dari Padang Karautan yang menjadi ayah tirinya itu. Anusapati mengasah Pengalasan Batil membunuh Ken Arok menggunakan keris yang sama, keris rakitan Empu Gandring, yang dilakukan itu ketika hari sedang senja. Cerita berdarah itu masih berlanjut dengan Pengalasan Batil ikut meregang nyawa ketika Anusapati membenamkan keris Empu Gandring tepat ke belahan dadanya. Anusapati melakukan itu dengan alasan yang sama seperti yang dilakukan Ken Arok pada Kebo Ijo, untuk menghapus jejak. Anusapati naik takhta dengan menjalin hubungan yang erat dengan Mahisa Wong A Teleng, adiknya yang terlahir dari perkawinan Ken Dedes dengan Ken Arok. Namun perjalanan pemerintahan Anusapati harus juga berakhir di ujung keris Empu Gandring. Dendam dibayar kematian, Tohjaya anak Ken Arok dari istri Ken Umang membalaskan kematian ayahnya. Terlena dalam permainan adu jago yang dilakukan di sebuah pasar, Tohjaya mendapat kesempatan melolos keris Empu Gandring dan menikamkan ke pinggang Anusapati. Darah dibayar darah, dendam harus dilunasi.
Anak Anusapati tidak bisa menerima kematian ayahnya di tangan pamannya. Anusapati bahu-membahu dengan Mahisa Cempaka,anak Mahisa Wong A Teleng melakukan perawanan hingga akhirnya Tohjaya yang tidak mampu menguasai keadaan harus melarikan diri dengan ditandu oleh para prajuritnya. Untung tidak bisa diraih malang tidak bisa ditolak, salah seorang pengusung tandunya tersandung dan ambruklah tandu menempatkan Tohjaya tidak hanya sebagai raja terjungkal dari kekuasaannya namun benar-benar sebagai raja yang terjungkal dari alat pemikulnya. Marah Tohjaya dan melampiaskannya dengan menendang prajurit itu, akan tetapi prajurit itu merasa memiliki harga diri yang tidak boleh dihinakan meski oleh seorang Raja. Dengan cekatan ia merampas keris Empu Gandring dan menebaskan pusaka itu ke perut Tohjaya. Mati Tohjaya melalui cara mengenaskan, Tohjaya melarikan diri dari Istana yang riuh oleh peperangan dalam rangka mencari selamat namun tetap saja kematian itu datang menjemputnya. Keris Empu Gandring membuktikan dendam kutukan pembuatnya.
Haruskah kutukan Empu Gandring itu tetap berlanjut?
Ranggawuni dan saudara sepupunya Mahisa Cempaka akhirnya mampu menjalankan pemerintahan atas Kutaraja yang berubah nama menjadi Singasari dengan aman tenang dan damai. Adakah hal itu terjadi setelah keris buatan Empu Gandring yang membawa kemarahan pemiliknya telah dilarung dengan diceburkan ke puncak Mahameru yang sedang mendidih ? Setidaknya, Narasinga dan Ratu Angabaya menjalankan pemerintahan secara bersama-sama saling bahu-membahu.
Sri Kertanegara keturunan Ken Dedes dari jalur Ranggawuni akhirnya menjadi raja yang termasyhur di sepanjang perjalanan sejarah Singasari, sekaligus merupakan Raja Singasari yang hidupnya harus berakhir juga dengan cara menyedihkan sebagai akibat dari dendam lama, kali ini bukan dendam saling bantai antar keluarga akan tetapi dari Kediri yang selalu mencari celah dan kesempatan untuk membalas apa yang terjadi di Ganter, perang yang memangkas habis kisah hidup Kediri dan Prabu Kertajaya di tahun 1222, Prabu Jayakatwang, penulis Kidung Wukir Polaman yang kini berbicara.
Ibukota Kediri sedang tidak terlindungi oleh bala tentaranya yang sedang dikirim ke ranah Melayu untuk ngelar jajahan, menundukkan beberapa negara di tempat itu dan memaksanya bersatu di bawah
panji-panji gula kelapa. Menyadarkan negara-negara di ranah Sumatera untuk bersedia bersatu baik secara sadar dan sukarela atau dengan cara dipaksa. Sri Kertanegara berkepentingan mengedepankan
persatuan dan kesatuan khususnya di wilayah Dwipantara dikarenakan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Kala itu, Singasari kedatangan tamu tak diundang, utusan Kubhilai Khan dari Mongol yang meminta kepada Singasari agar dengan sukarela mau tunduk menjadi negara bawahan Mongol. Keinginan Kubhilai Khan itu menyebabkan Sri Kertanegara sangat murka karena merasa dilecehkan.Utusan Tartar bemama Mengkhianati dipotong telinganya dan dilukai wajahnya, yang sekaligus merupakan jawaban yang diberikan Singasari. Untuk menjamin agar jangan sampai peristiwa itu terjadi lagi, Sri Kertanegara tidak punya pilihan lain kecuali menundukkan negara-negara di wilayah Sumatera yang merupakan pintu gerbang masuk menuju Singasari. Hanya dengan mempersatukan Nusantara itulah nafsu Kubhilai Khan yang ingin melebarkan kekuasaan ke Nusantara bisa diredam. Sri Kertanegara sadar bahwa untuk menghadapi Kubhilai Khan dibutuhkan bala tentara yang sangat besar.
Keadaan negara yang sedang kosong itu dimanfaatkan oleh Bupati Sumenep, Arya Wiraraja yang kecewa karena pangkat dan jabatannya sebagai Demang dilorot oleh Sri Kertanegara. Arya Wiraraja
mengabari Jayakatwang, menyarankan Raja Kediri itu untuk melakukan serbuan mumpung Singasari sedang dalam keadaan kosong. Raja Jayakatwang yang merasa pada dirinya mengalir darah Kediri melihat kesempatan yang telah lama ditunggu. Dipimpin oleh Kebo Mundarangi , serbuan dilakukan dengan siasat membelah pasukan menjadi dua. Sebagian pasukan mengobrak-abrik Mameling di arah utara menyembunyikan pasukan yang lebih besar yang akan menyerbu Kotaraja Singasari dari arah selatan. Menantu raja, Raden Wijaya, anak Dyah Lembu Tal dan berada pada garis keturunan Mahisa Cempaka diperintahkan menghadang serbuan Jayakatwang yang tidak pernah diduga itu. Raden Wijaya memang berhasil meredam musuh di Mameling, namun yang tidak pernah diduga adalah, ketika kembali ke Kotaraja mendapati Istana telah terbakar hangus. Sri Kertanegara dan permaisuri Bajrawati gugur dalam pembantaian itu. Maka terbirit-birit Raden Wijaya bersama para pendukungnya berusaha menyelamatkan diri hingga ke Sumenep dan mendapat perlindungan Arya Wiraraja. Arya Wiraraja berotak culas atau entah apa maksudnya, ia menyarankan kepada Raden Wijaya untuk menyerah dan memohon ampun kepada Jayakatwang. Permohonan ampun itu diterima dan kepada Raden Wijaya dihadiahkan tanah Trik untuk dibuka sebagai tempat di mana ia boleh membuka sebuah wilayah. Di tanah Trik Raden Wijaya membabat hutan bersama pendukungnya. Wilayah yang dibuka itu kemudian diberi nama Wilwatikta hanya karena sebuah alasan, di tempat itu telah ditemukan buah maja yang berasa pahit. Betapa murka Kubhilai Khan mendapati ancamannya tidak ditanggapi oleh Raja Singasari yang menyatakan tidak mau tunduk menjadi 'gedibal' Tartar, tidak hanya itu, simpul syaraf kemarahannya yang paling peka tersentuh melihat utusannya dicederai. Kubhilai Khan mengirim ribuan bala tentara ke tanah Jawa untuk menjatuhkan hukuman kepada Sri Kertanegara, rombongan bala tentara itu sama sekali tidak tahu orang yang menjadi sasaran bidiknya telah tiada. Raden Wijaya yang menangkap berita kedatangan bala tentara Tartar itu bergegas menyambut mereka dan membelokkan serbuan itu ke Kediri dan berhasil meringkus Jayakatwang. Balatentara Tartar yang menyelenggarakan pesta kemenangan sama sekali tidak menyangka Raden Wijaya memberikan sebuah serangan mendadak yang sungguh menyebabkan bala tentara dari seberang lautan itu kocarkacir, ribuan dari mereka mati terbunuh. Serangan dadakan yang dilakukan dengan gemilang itu menyebabkan bala tentara Tartar melarikan diri, sebagian lain menyatakan tunduk dan tingga1 di Jawa, di antaranya bertempat di Wengker yang tidak jauh dari Pamotan.
Dengan berhasil dibalasnya perbuatan Kediri yang telah membunuh mertuanya dan telah berhasil mengusir bala tentara dari Mongol, Raden Wijaya mengumandangkan 'pranyatan kamandikan' atas berdirinya negara Majapahir. Raden Wijaya yang mengawini empat dari lima anak perempuan Prabu Kertanegara itu menyatakan dirinya sebagai Raja pertama Majapahit dengan nama Kertarajasa Jayanegara.Lembu Anabrang yang memimpin bala tentara Singosari dalam rangka pemekaran wilayah ke Sumatera terkejut mendapat Singasari telah tiada. Lembu Anbrang menyerahkan dua putri boyongan, masing-masing Dara Petak dan Dara Jingga dari Dharmasraya kepada Raden Wijaya. Yang muda dari kedua gadis itu dikawini Raden Wijaya. dari Dara Petak itulah lahir Kalagemet.
Perjalanan Majapahit ternyata tidak berjalan mulus.
Dari Tuban, Adipati Ranggalawe menyatakan rasa tidak sukanya melihat bukan dirinya yang diangkat Mahapatih padahal Ranggalawe beranggapan. ia yang lebih banyak membuat jasa daripada Nambi yang diangkat menjadi Patih Hamangkubumi itu. Namun cerita tentang pemberontakan tak hanya diberikan oleh Ranggalawe, karena Mahapatih Nambi juga terpaksa mengangkat senjata menempatkan diri berhadapan dengan Majapahit dengan membangun benteng di Pajarakan. Nambi melakukan itu sebagai akibat dari fitnah yang ditebar Mahapati yang sangat ingin menggantikan kedudukannya. Dendang makar selanjutnya juga dikumandangkan dari Lasem. Seorang anggota dari Dharmaputa Winebsuka bemama Rakrian Semi oleh sebuah alasan menyatakan memberontak dari kekuasaan Majapahit. Namun cerita tentang makar yang berbahaya adalah yang dilakukan oleh Dharmaputra Winebsuka Rakrian Kuti yang didukung oleh Rakrian Wedeng, Rakrian Pangsa, Rakrian Banyak, Rakrian Yuyu dan Rakrian Tanca. Makar itu bahkan menyebabkan Gajah Mada pimpinan prajurit berpangkat Bekel harus pontang-panting menyelamatkannya hingga ke Bedander. Gajah Mada yang kembali ke Kotaraja menggalang kekuatan dan berhasil menumpas pemberontakan Rakrian Kuti, dari kelompok Dharmaputra Winebsuka ini hanya Rakrian Tanca yang diampuni karena sangat dibutuhkan kemampuannya dalam bidang pengobatan. Namun 9 tahun setelah
pemberontakan Rakrian Kuti, Kalagemet atau Jayanegara tetap mati juga dibunuh oleh Rakrian Tanca melalui racunnya. Rakrian Tanca terhenyak ketika Gajah Mada membenamkan keris ke perutnya.
Sepeninggal Prabu Jayanegara yang tidak memiliki keturunan, maka Sri Gitarja Tribuana Tunggadewi Jayawisnuwardani secara bersama-sama dengan adiknya, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa 4 menggelar pemerintahan bersama. Di masa pemerintahan inilah, dengan disaksikan oleh kedua Prabu Putri dan masing-masing suaminya, Raden Cakradara dan Raden Kundamerta disaksikan pula oleh mantan Mahapatih Arya Tadah yang sebelumnya menggantikan Mahapatih Dyah Halayuda, disaksikan segenap Tandha dari pipinan prajurit yang dilakukan oti Tatag Rambat Bale Manguntur. Gajah Mada yang diangkat menjadi Mahapatih menggantikan Arya Tadah mengumandangkan sumpah yang menggegerkan, sumpah sakti yang menjadi pijakan awal untuk membawa Maajapahit menuju kejayaan gemilang, Sumpah Palapa, yang kemudian menjadi pijakan semangat untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Sebagai orang kedua di Majapahit, Gajah Mada mendapat gelar kehormatan sang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Mpu Mada.
Dengan menggenggam semangat Camunda dan menggusur semangat aksobya Gajah Mada berhasil membawa Nusantara menjadi satu kesatuan yang utuh, beberapa negara tetangga yang saling bermusuhan antara satu dan lainnya dihimbau untuk mau bersatu bahu-membahu menghadapi musuh yang sama, Tartar yang berusaha mati-matian menyelinap kembali menanamkan pengaruhnya. Bagi yang bersedia bersatu dengan suka rela diterima dengan terbuka, namun kepada negara yang membangkang apa boleh buat harus digebuk. Bali diserbu, demikian pula dengan Dompo di Sumbawa dan Tumasek di ujung barat yang di ujung hari bernama Singappura, diserang. Namun perjalanan Gajah Mada tidaklah mulus tanpa batu sandungan. Bahwa untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara apabila perlu memang harus dengan pemaksaan. Gajah Mada kecewa karena di pekarangan sendiri, Sunda Galuh2 justru tidak mau menyatakan bersatu. Hubungan kekerabatan yang ada menjadi perintang bagi Gajah Mada untuk memaksa Sunda Galuh di Kawali untuk tunduk. Penyerbuan ke negara itu ditentang oleh banyak kerabat Istana berdasar sebuah alasan, Raden Wijaya terlahir dari perkawinan Dyah Lembu Tal dengan bangsawan Sunda. Adalah Prabu HayamWuruk yang ketika itu berusia 23 tahun merasa membutuhkan seorang permaisuri, dari banyak pilihan jatuhlah pada Dyah Pitaloka Citraresmi yang cantik jelita. Pinangan atas Dyah Pitaloka, anak Prabu Maharaja Linggabuana dari Sunda Galuh dimanfaatkan oleh Gajah Mada. Pesta perkawinan besar-besaran itu diselenggarakan di Majapahit dengan alasan diselenggarakan bersamaan dengan digelarnya Pasewakan yang akan dihadiri oleh segenap utusan negara. Gajah Mada menghadang rombongan tamu yang telah berdandan cara pengantin itu dan mensyaratkan segenap tamu dari Sunda boleh naik ke Tatag Rambat Bale Manguntur apabila sebelumnya menyatakan tunduk menjadi negara bawahan Majapahit. Rombongan dari Sunda Galuh terhenyak dengan kehormatan yang bagai
dikoyak. Tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menjaga kehormatan.
Lengser
Melihat di mana-mana prajurit telah mengepung, prajurit Sunda yang jumlahnya tak lebih dari seratus orang itu mengamuk. Prabu Maharaja Linggabuana terbunuh disusul oleh Istrinya yang lampus diri.
Dyah Pitaloka dengan senang hati dan tanpa keraguan mengikuti jejak ibunya. Itulah saat di mana Prabu Hayam Wuruk benar-benar terpukul dan menyalahkan Gajah Mada, hubungan menjadi sangat memburuk Gajah Mada yang tahu diri melepaskan jabatan dan pilih menyepi Madakaripura. Hayam Wuruk kehilangan gairah hidup karena gadis yang didamba berakhir kisah hidupnya dengan cara yang sangat menyedihkan. Ia jalani perkawinannya dengan Sri Sudewi, adik sepupunya sendiri dengan perasaan hambar meski dari perkawinan itu lahir Kusumawardani. Hayam Wumk, akhirnya menemukan cintanya kembali kepada seorang gadis sederhana, ia bukan siapa-siapa, darahnya tidak berwarna biru. Dari perkawinan dengan Biniaji itu lahirlah Breh Wirabumi yang berwajah tampan karena berasal dari bibit Ibu yang cantik dan ayah yang tampan, hanya sayang, seorang pujangga yang menulis Serat Damarwulan, pujangga yang menempatkan diri berpihak pada isrtri tua, menulis kisah yang buruk atas sosok Breh Wirabumi, yang diberi nama ejekan Minak Jingga. Maka perebutan kekuasaan yang terjadi itu menjadi awal Perang Paregrek, perangnya para ingkang samya egrek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar