Senin, 22 November 2010

Menetapkan Tapal Batas, konsep pakar Geodesi Muslim

di kutip dari tulisan Yusuf Assidiq di Harian Republika tanggal 19 Nopember 2010


Peta Alexandria
Penentuan batas wilayab mendapat perhatian besar baik dari pemerintah maupun kalangan ilmuwan muslim. Penentuan ini untuk menegaskan dan mengetahui batas wilayah dan kekuasaan dari wilaiyah lainnya. Pemerintahan islam pada abad pertengahan memi1iki wilavah sangat luas. Perluasan wilayah sangat gencar dilakukan pada masa Dinasti Umayah hingga mencapai Samudera Atlantik, Pyrenees, India, China, dan Rusia. Setelah itu, dari kawasan yang dikuasai, kata ilmuwan Philip K Hitti, ditetapkan batas wilayah dan proses nasionalisasi dalam berbagai bidang, juga pembentukan layanan pos dan penjagaan. Langkah lainnya yakni menciptakan stabilitas di perbatasan.
Batas wilayah terkait banyak aspek, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik. Ini sangat disadari penguasa Muslim. Dengan batas yang jelas, para khalifah mengetahui seberapa luas kekuasaannya dan berapa jumlah pajak yang bisa dikumpulkan. Selain itu juga menyangkut eksplorasi sumber daya alam, kependudukan. dan perdagangan. Demikian penjelasan dalam buku Bounciaries and Frontiers in Medieval Muslim Geography karya sejarawan Ralph W Brauer. Saat itu, papar Brauer, pakar geografi Muslim terlibat langsung dalam kajian soal wilayah dan penentuan batas-batasnva. Secara historis, umat Islam telah mengusung konsep zona perbatasan yang menjadi garis depan negara atau provinsi.
Beberapa naskah dan risalah dari pakar geografi maupun penjelajah Muslim merinci hal itu, baik yang terkait batas antar wilayah Islam maupun dengan wilavah none Muslim. Salah satunya tercantum dalam buku berjudul Al-Kharaj, tulisan seorang pakar geograti asal Baghdad, Irak, bernama Qudamah.

Peta Al Wadi

Pada karya yang diterbitkan pada 928 Masehi, ia menerangkan pembagian wilayaj kekhalifahan ke dalam berbagai provinsi. Ada pakar lainnya yaitu Yaqut al Hamawi, yang menulis ensiklopedi geografi dari abad ke-13 Masehi. Ia berkontribusi penting dalam kajian melalui karyanya Mu'jam al Buldan. Tokoh ini berbicara tentang tatan pembagian wilayah dan cara praktis utnuk memperbarui letak wilayah tersebut.
Menurut Philip K Hitti, karya-karya ahli geografi telah mencakup tapal batas wilayah di Timur Tengah, Afrika Timur, Sudan hinggga padang pasir di kawasan Rusia. Mereka berhasil membuat kartografi yang akurat. "Terutama dalam bentuk peta dan uraian geografi yarig menetapkan suatu negeri sebagai sebuah unit," jelasnya  dalam buku History of the Arabs. Hasil pemikiran mereka dijadikan acuan oleh para penguasa untuk menetukan batas wilayah.
Begitu batas wilayah ditentukan, kata  Ralph Brauer, pemerintah membangun sejumlah sarana di kawasan-kawasan terluar sebagai penanda wilayah kekhalifahan. Sarana itu antara lain kantor bea cukai, pos jaga, gerbang, dan benteng. Brauer mencontohkan keberadaan kantor bea cukai yang terdapat di Aleppo-utara Suriah-pada era kekuasaan Dinasti Mamluk. Tugasnya kantor itu adalah memeriksa dokumen milik kabilah dagang yang datang dari seluruh penjuru negeri. Tugas lainnya adalah menarik pungutan atau yang disebut dengan mukus, Bea cukai di Aleppo ditempatkan dijalur-jalur perbatasan yang terhubung antara Suriah, Asia Jauh, Diar Bakr, Mesir, Irak, dan Persia.
Sementara itu, kantor bea cukai di Barqa (Libya) berada di Ifriqiy-Ajdabia dan Yaman berpusat di wilayah Khamdan. Adapuun di Mesir lokasinyn di Asuan, Ikhmim dan Qatia. Bea cukai juga ditempatkan di wilayah pelabuhan terluar. Sejarawan Muslim Ibnu Jubair melukiskan pelabuhan Tripoli,kini wilavah Libya dan Alexandria, Mesir sangat ramai dikunjungi pedagang dan pendatang asing. Para petugas memeriksa kelengkapan dokumen pedagang dan pendatang. Khusus bagi pedagang, dikenakan pungutan sebesar 20 persen dari total nilai barang dagangan mereka. Ilmuwan dan penjelajah Muslim abad ke-11, Nasir Khusrau, mengungkapkan bahwa dia dibebaskan dari pemeriksaan di pelabuhan Jidda. Sebab, ia menjadi tamu gubernur setempat. Ia menambahkan, pungutan tak dibebankan kepada para jamaah haji.
Bangunan benteng sebagai penanda wilayah mernang banyak didirikan. Seperti yang berada di kawasan pegunungan selatan Lebanon, di Balis yang terletak 35 km dari Malatiya, juga di Tarsus. Biasanya benteng-benteng semacam itu turut dilengkapi pos pemeriksaan dan kantor bea cukai.
Keberadaan benteng pertahanan terutama dimaksudkan untuk menangkal serangan dari luar dan menjamin keamananan dan stabilitas di kawasan-kawasan terluar. Langkah lainnya adalah membina hubungan diplomatik dengan negara lain.
Hal ini terwujud melalui korespondensi, pertukaran data, maupun hadiah. Philip Hitti mencatat, kerja sama semacam ini pernah terjadi antara Khalifah Harun al-Rasyid dan Charlemagne dari Barat pada abad ke-9.
Kerjasama serupa berlangsung dengan penguasa di India sehingga stabilitas di perbatasan terus terjaga. Namun, bukan berarti tak ada gejolak. Konflik kerap terjadi di kawasan yang berbatasan dengan Bizantium.
Masalah itu telah berlangsung sejak abad ke-8. Perbatasan di wilayah Islam yang membentang dari Suriah ke Armenia semakin menyusut oleh ekspansi Bizantium. Khalifah dari Abbasiyah, al-Mahdi, mengumandangkan jihad mengatasi hal itu. Kemudian Khalifah Harun al-Rasyid berhasil mencapai kemenangan gemilang di wilayah Bosporus.

Batas Wilayah
Garis batas wilayah menentukan teritorial negara. Para ilmuwan muslim berhasil merintis konsep tentang batas wilayah. Ini adalah kontribusi di bidang ilmiah untuk mempertegas batas wilayah.
Terdapat beberapa kriteria, mulai dari kepadatan penduduk, luas, serta produktivitas lahan pertanian. Menurut Ralph Brauer, kepemilikan atas suatu wilayah baru diiringi kebijakan yang melindunginya.Misalnya, warga setempat memperoleh hak pengelolaan lahan produktif. Kemudian, penguasa mengenakan
pajak atas tanah (kharaj) di sana. Menurutnya, hal itu sudah dipraktikan di dunia Islam, sejak masa Khulafur Rasyidin.
Adalah Khalifah Umar bin Khattab yang memepelopori ketika memperluas wilayah. Dan terus berkembang hingga masa selanjutnya. Ilmuwan menopang pemerintah dengan kemampuan mengukur luas wilayah dalam penentuan batas. Selain itu, para ilmuwan Muslim telah mampu mengukura luas wilayah yang berguna dalam menentukan garis batas. Naskah ilmiah mencantumkan istilah yarad, sahm, jarib atau qabiz untuk menghitung jarak dan panjang sebuah area.
Abu Fida, ilmuwan abad ke-13 menemukan mkiyas, yakni alat yang digunakan untuk mengukur luas wilayah. Menurut Brauer, sejarawan kontemporer sangat mengangumi keahlian ilmuwan Muslim dalam memperkirakan jarak dan letak wilayah. Dalam kaitan ini terdapat jalinan kerja sama antara ahli geografi dan pakar matematika. Prestasi lainnya adalah pengembangan metode pengukuran garis lintang dan bujur yang diadopsi dari pengetahuan Yunani kuno.

Al-Khawarizmi dikenal luas sebagai tokoj yang menyusun peta rupa bumi disertai posisi dan letak wilayah. Karya ini berpengaruh bedar bagi kemajuan bidang geografi. Kondisi di wilayah perbatasan dan kawasan terluar tak luput dari pengamatannya. Sementara itu, Sulayman al-Tajir pada tahun 851 memberikan deskripsi mendalam tentang situasi wilayah, penduduk, dan kehidupan sosial ekonomi di wilayah Timur Jauh maupun Rusia.

Tidak ada komentar: