Potensi adanya perbedaan Idul Adha 1431 Hijriah sudah diprediksi para ahli hisab rukyat dan astronomi sejak beberapa tahun lalu. Perbedaan itu terwujud saat ini dengan adanya sebagian umat Islam Indonnesia yang memperingati Idul Adha pada Selasa (16 Nopember 2010) sama seperti di Arab Saudia, dan sebagian lagi Rabu (17 Nopember 2010) esok.
Ijtimak Awal 1 Dzulhijah 1431 H bertepatan dengan 6 Nopember 2010 jam 15.52 wib |
Di Indonesia, lanjut Djamaluddin, jika ada yang menetapkan Idul Adha pada 16 November, hal itu karena menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal tanpa perlu diamati) sehingga bulan Dzul-qa'dah hanya 29 hari. Perbedaan lain muncul dengan ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan Idul Adha juga pada 16 November sehingga puncak ibadah haji berupa wukuf di Arafah dilakukan pada 15 November kemarin.
Menurut Djamaluddin, keputusan Pemerintah Arab Saudi menentukan Idul Adha tahun ini tergolong kontroversial. Secara teoretis, hilal tidak bisa di-rukyat pada 6 November di Mekah. Namun, ternyata otoritas setempat menentukan berbeda. Sebagai catatan, dalam keputusan penentuan hari raya, Pemerintah Arab Saudi sering kali digugat oleh para astronom di Timur Tengah dan kawasan lain. Meskipun Arab Saudi menggunakan metode melihat hilal untuk menentukan awal bulan, tapi sering kali hilal yang diklaim bisa dilihat itu secara teoritis astronomi tidak mungkin bisa dilihat.
Garis Penanggalan Bulan
Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama lainnya yang juga ahli kalender di Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, mengatakan, garis penanggalan pada kalender Hijriah berbeda dengan garis penanggalan kalender Masehi. Garis penanggalan Masehi didasarkan pada patokan garis bujur timur atau garis bujur barat 180 derajat. Dalam penanggalan daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan mulai dari kutub utara hingga kutub selatan akan selalu memiliki hari yang sama. Perubahan hari dimulai pada pukul 00.00.
Daerah yang lebih timur juga dipastikan akan lebih dahulu waktunya dibandingkan daerah di baratnya. Karena itu, dalam sistem penanggalan Masehi, waktu di Jakarta atau waktu Indonesia Barat (WIB) selalu empat jam lebih dulu dibandingkan waktu Mekkah. Namun, garis penanggalan bulan berbeda. Ggris penanggalan bulan memiliki 235 variasi. Setiap bulannya, garis penanggalan bulan berbeda-beda. Garis penanggalan bulan akan kembali di dekat tempat yang sama sekitar 19 tahun
kemudian. Banyaknya variasi garis penanggalan bulan ini ditentukan oleh posisi Bulan terhadap Bumi dan posisi Bumi-Bulan terhadap Matahari. Daerah yang pertama kali melihat hilal akan mengawali hari lebih dulu. Hal ini berarti, daerah yang terletak pada garis bujur yang sama atau berdekatan, hari atau awal bulan Hijrahnya bisa berbeda. Hari dimulai setelah Matahari terbenam atau magrib, bukan pada jam 00.00.
Kondisi ini, lanjut Moedji, yang membuat waktu di Jakarta tidak selalu lebih dahulu dibanding Mekkah. Jika diasumsikan, hilal pada Zulhijah kali ini pertama kali dilihat di Mekkah maka sesudah magrib atau sekitar jam 18.00 di Mekkah sudah masuk bulan baru. Saat itu, di Jakarta sudah pukul 22.00 wib. baru pada magrib keesokaharinya, Jakarta memasuki Zulhijjah. Artinya pada bulan Zulhijjah kali ini waktu di Jakarta tertinggal 20 jam di bandingkan di Mekkah.Dalam penanggalan Hijrah, waktu di Indonesia bisa jadi lebih dulu dibandingkan waktu Arab Saudi. Namun bisa jadi Arab Saudi Lebih dulu dibanding Indonesia, tambahnya.
Menurut Moedji, perbedaan awal hari dalam kalender Hijriah inilah yang sering dipahami secara salah. Mereka beranggapan, karena Waktu di Indonesia lebih cepat dibanding Mekkah, maka saat di Mekkah berhari raya, di Indonesia juga harus berhari raya. Padahal, konsep ini didasarkan atas pencampuradukkan konsepsi kalender Hijriah dan Masehi sehingga menimbulkan kerancuan.
"Umat Islam Indonesia harus memahami bahwa mereka menggunakan dua sistem kalender. Kalender Masehi dan kalender Hijriah untuk keperluan ibadah. Setiap kalender memiliki konsep konsekuensi masing-masing yang berbeda",ungkapnya.
Meskipun berbeda, baik Moedji maupun Djamaluddin mengajak umat Islam menghormati perbedaan yang ada. Meskipun demikian, kejadian ini harus kembali memacu umat Islam Indonesia untuk segera membuat kriteria penentuan awal bulan Hijriah secara bersama yang berlaku nasional. Jika sudah ada, maka konsepsi ini bisa disosialisasikan secara regional dan internasional sehingga diperoleh sistem penanggalan Hijriah yang bisa berlaku secara global.
”Sistem penanggalan Hijriah memang lebih kompleks dibandingkan penanggalan Masehi,tapi itu bukan berarti tidak bisa,ujar Moedji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar