Sabtu, 05 Oktober 2019

Pitoenem Adventure


Rute Perjalanan Adventure Pitoenem
Penggunaan teknologi informasi dalam komunikasi memberikan manfaat yang luar biasa bagi hubungan silaturahmi antara anak bangsa. Tanggal 2 Maret 2015 dan 3 April 2015 merupakan tanggal bersejarah boeat rekan-rekan alumni SMP Negeri 3 Malang, khususnya angkatan 76. Belakangan untuk memudahkan dalam berkomunikan sekaligus  sebagai brand angkatan, mendeklarasikan namanya menjadi pitoenem. Betapa tidak, tanggal 2 Maret 2015, rekan Udin (ada yang lupa kalau nama panjangnya Muhamad Fachrudin) membentuk grup WA angkatan 76, dilanjutkan dengan copy darat reuni perdana pada tanggal 3 April 2015 di Malang (http://inendri.blogspot.com/2015/04/pitunem_9.html).  Sejak saat itu rasanya grup tak pernah sepi dengan posting-an (celotehan ala medsos) anggota grup dengan berbagai tema dan topik. Dari semula anggota hanya limapuluh-an (sesuai yang hadir pada reuni perdana), saat ini anggotanya mencapai hampir seratus. Termasuk Subyek dan Sonny, yang pada saat awal-awal pulkumpul belum ketahuan jejaknya.
Pertemuan demi pertemuan intensif dilakukan, dari hanya sekedar ngopi bareng sampai dolen bareng (doreng). Doreng ke Sarangan (2016), Batu (2017) dan terakhir ke Banyuwangi (2019) merupakan agenda rutin (sepertinya) yang terus bergulir untuk mempererat tali silaturahmi diantara pitoenem’ers. Karena waktu yang tidak dapat diprediksi, doreng yang terakhir, penulis baru bisa bergabung dengan teman-teman. Ngobrol di grup yang intens, pak Ketu (Levi) dan kawan-kawan sepakat untuk berangkat tanggal 6-8 September 2019. Lokasi ini (Baluran, Ijen Banyuwangi) agak istimewa, karena nostalgia pak Ketu yang pernah bertugas di Kementerian Kehutanan (selaku pengelola Taman Nasional Baluran /TNB) selama enam tahun.  Hasil rapat terakhir diputuskan jumlah peserta yang berangkat 22 orang menggunakan dua minibus Toyota HyAce (kapasitas 12 orang) keberangkatan hari Jumat, tanggal 6 September 2018. Adapun peserta yang terdaftar yaitu Levi (pak Ketu) dan istri, Udin, Subyek, Sony, Cie, Ruriek, Wiwiek, Henny,  Budi Ebes, Gatot dan istri, Akbar, Budi BR, Kombang, Syukur, Nungki Nyok, Lina, Sri Eboy Mulyani, Widotomo, Irene Ceting, Atiek Samad. Dari komunikasi di grup, Agus Wandi mau bergabung, ketemuan di Baluran, dianya berangkat dari Denpasar menggunakan kendaraan roda dua.

Siap berangkat, Teras SMP 3 Malang
Hari ke-1, 6.9.2019
Satu persatu peserta mulai berdatangan di meeting point yang sudah ditentukan yaitu halaman SMPN 3 Malang. Panitia inti dan inisiator, penggagas sekaligus ‘provokator’, Levi, mengabsen satu persatu, sekaligus pembagian mobil’.  Beberapa teman ketemu pertama kali setelah 40 tahun pisah, Kombang, Syukur, Gatot. Dari 22 peserta, satu peserta (Budi Ebes) batal berangkat karena asam urat kambuh (biasa….penyakit orang sepuh)  dan 3 orang (Nyok, Eboy Sri Mulyani dan Lina) berangkat dari Surabaya, nantinya janjian ketemu di Probolinggo. Salut buat Lina yang meluangkan waktu keluarga datang jauh-jauh dari Jakarta untuk bisa bergabung dengan peserta. Tepat jam 21.10 ready to go, sebelum berangkat pak ketu memimpin berdoa agar perjalanan lancar tanpa kurang suatu apapun. Bismillahirrohmanirrokhim.
Keberadaan jalan tol Malang-Pandaan sangat membantu percepatan akses lalulintas perjalanan transportasi. Memasuki jalan tol, teman-teman masih semangat ngobrol berbagai hal, penulis pun ikut ngobrol tapi di dalam mimpi…zzzz..zzzzzzz
Mendekati pukul 23.00 mobil memasuki kota Probolinggo, sesuai kesepakatan, kita akan ketemuan dengan Nyok di dekat kantor Kodim 0820 Probolinggo jalan Panglima Sudirman.
Tak berapa lama mobil Toyota Noah mendekati mobil kami yang sedang parkir, kiranya Nyok dkk nyampai sesuai dengan estimasi. Sesuai rencana mobil dititipkan di kantor Kodim, Nyok, Lina dan Eboy bergabung dengan mobil kami. Lanjut perjalanan.
Rest Area Utama, Besuki, Situbondo
Tengah malam mendekati jam 01.00 rombongan istirahat di RM Utama SPBU 5468310, jalan raya Pantura Besuki, Situbondo. Tempatnya bagus, ramai dengan mobil-mobil yang sedang parkir atau isi bensin. Rupanya lokasi sesuai dengan waktu untuk istirahat bagi sopir. Fasilitas lengkap, mushola, resto, ATM, cottage menghadap ke pantai. Kamar mandi bersih, free, sangat bersih untuk kategori rest area di pantura. Uniknya disediakan kamar mandi VIP, yang ini tentunya berbayar. Berwelfi merupakan kegiatan yang wajid dilakukan untuk mengabadikan lokasi yang dinilai fun, menyenangkan. Setelah berwelfi ria, perjalanan berlanjut…..

Peta TN Baluran
Hari ke-2, 7.9.2019
Menjelang shubuh mobil nyampai di pertigaan jalan raya pantura yang ke arah desa Wonorejo, kecamatan Banyuputih. Lamat-lamat terdengar adzan shubuh, pak sopir mengarahkan mobil ke arah masjid, sholat dulu sekalian istirahat.  Taman Nasional Baluran terletak di wilayah desa ini. Masjid berpagar biru dengan tembok berkaca tanpa kubah cukup bersih. Pak Ketu ketemu dengan salah seorang staf TNB, pak Zen,  sedang sholat berjamaah, yang nantinya akan menganter rombongan berkeliling di area taman nasional.
Pintu gerbang TNB bersebelahan dengan gerbang desa Monorejo. Dua pintu gapura berhadap-hadapan warna hijau menyambut pengunjung di depan tulisan BALURAN NATIONAL PARK. Jam menunjukan 05.30 penjaga taman membukaan portal gerbang, dan mempersilahkan rombongan masuk langsung ke dalam taman.
Taman Nasional Baluran dtetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1997, yang sebelumnya ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1962. Areal dengan luas 25.000 hektar, berada di lembah gunung Baluran, dikenal sebagai habitatnya banteng (tidak bermoncong putih). Selain banteng, TNB merupakan habitat hewan kerbau, kijang, rusa, macan dan kancil. Sedangkan jenis burung-burungan yang hidup adalah merak, yang terkenal dengan keindahan bulunya apabila sedang mengepakkan sayapnya penuh. Padang ilalang terbuka berupa rumput terbuka, biasa kami menyebutnya savanna, merupakan salah satu ciri khas keunikan TNB. Bahkan ada yang menyebut sebagai Afrika van Java.  Selain itu, letaknya yang berada di ujung timur laut pulau Jawa, berhadapan langsung dengan laut Jawa bagian timur, lokasi yang paling cocok untuk menyaksikan keindahan matahari terbit di pagi hari.

Sunrise, Bekol, Baluran
Pantai Bama. Rombongan tidak perlu lapor ke petugas taman yang ada di depan, mungkin pak Ketu sudah melaporkan beberapa hari sebelumnya.  Untuk menuju pantai Bama, pengunjung melewati jalan aspal mulus di tengah padang savanna, lebih kurang 13 kilometer. Udara sejuk pagi sangat sayang kalau tidak dinikmati. Pak sopir sengaja mematikan AC, jendelapun terbuka sedikit, angin semilir mengalir menimpa kulit dengan rasa dingin pagi dalam suasana savanna. Di kilometer sepuluh jam 05.10, Gardu pandang Bekol, rest area pertama sebelum menuju spot-spot selanjutnya, rombongan berhenti. Tampak sebuah pohon berdiri di antara rumput-rumput yang kuning mengering. 
Pohon Raisa, Bekol, Baluran

Unik sekaligus eye catching, menggoda sekali bagi para penggemar foto untuk tidak mengabadikan dari segala sisi. Ini rupanya pohon yang sering dijadikan publikasi ke-khas-an TNB. Lebih popular lagi pohon ini dikenal dengan nama pohon Raisa. Kenapa ? Karena penyanyi Raisa, pernah melakukan shooting video di lokasi ini, sehingga masyarakat sekitar lebih mengenal dengan nama pohon Raisa. Nama ilimiahnya adalah pohon heits dengan  nama latinnya Ziziphus Mauratania, mungkin aslinya dari negara Mauritania, Afrika Barat. Walaupun suasana masih gelap, kami larut dalam suasana welfi dan selfi. Bayangan matahari terbit menimbulkan warna langit kuning orange di ufuk timur. 
Selfi dulu dengan bang Udin

Tak peduli hasilnya, yang penting selfie dulu. Beruntung rekan Gatot membawa kamera ‘beneran’, tentunya hasilnya akan lebih indah dari warna aslinya #sakurafilm. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, matahari mulai nampak, seperdelapan, duaperdelapan, tigaperdelapan bulatan matahari dengan warna kuning terang dengan garis lingkaran tipis hitam, di antara  langit warna kekuningan  cerah ….indah sekali. Apalagi berdiri di belakang pohon raisa, terlihat pohon tanpa daun memperlihatkan cabang ranting ke berbagai arah dengan latarbelakang sebagian matahari. Sebagian kami berguman, Allahu Akbar…keindahan ciptaan Alloh yang masih bisa nikmati. “Ayo..ayo..segera ke pantai, disana view akan lebih bagus”, pak Ketu mengingatkan kita, bahwa sunrise akan lebih indah jika dilihat dari pantai. Kamipun segera berkemas menuju mobil dan meninggalkan Bekol menuju pantai Bama. Sepanjang jalan menuju, pamandangan tak kalah indahnya, jalan ke arah timur pas berhadapan dengan matahari terbit. Suasana pagi semakin terang, keberadaan binatang-binatang penghuni taman mulai tampak. Rusa, monyet, burung merak berombongan keluar dari sarangnya mencari makanan. Banteng, kerbau belum tampak.
Sunrise di Pantai Bama

Tak berapa lama pantai Bama terlihat di ujung sana. Matahari tampak seluruhnya kira-kira setinggi 15 derajat, masih cukup bagus untuk berfoto ria.  Kami pun larut dalam keindahan pantai Bama. Beberapa perahu bercadik teronggok di bibir pantai seakan menanti untuk membawa rombongan menikmati lautan Jawa. Batang pohon merebah difungsikan sebagai tempat duduk, monyet-monyet tampak manis duduk di meja sambil menggaruk-garuk kepala seakan-seakan mau bilang minta sarapan. Tak berapa jauh, dua ayunan bergerak ke depan-belakang membawa penumpangnnya bergelantungan menikmati matahari sambil minta di foto. 


Perahu berlabuh di Pantai Bama

Pohon heits bertebaran disepanjang pantai. Agak jauh menjorok tumbuh pohon atau hutan bakau, tanaman penahan  air laut dari proses abrasi pantai. Selain fasilitas bermain, kantor, mushola An Nur, lapangan untuk upacara, cottage, kamar mandi umum tersedia dengan kondisi lumayan (walaupun sebagian kran airnya nggak berfungsi). Pak Ketu mengingatkan untuk ke warung bu Didik, sarapan, kopi, teh, pisang goreng siap untuk disantap sebagai pengisi perut pagi. Dari kejauhan terdengar suara motor, main lama makin dekat, “Ini kayaknya Agus”, salah seorang dari kami berguman. 


Welfie Pantai Bama
Sepeda motor Yamaha putih X-Max dengan nopol DK-2772-KLL mendekat dan parket di depan warung, pengendaranya bercelana pendek motif ABRI mendekat sambal membuka helmnya, ”Assalamualaikum”, sapanya, “Walaikumsalam”, sahut kami. Benarr ….si ganteng Agus Wandi masuk warung sambil menyalami teman-temannya. Rupanya dia berangkat tadi malam, nginep di pantai Watudodol, kawasan pantai Banyuwangi. Luar biasa, masih kuat naik motor malem-malem…hik..hikk..hiks… 
Agus Wandi


Sarapan pagi dengan lauk favorit pecel, tempe goring, teh anget.. mak nyozzz…serasa. Kayaknya pada kelaparan semua, apa tadi malam nggak makan ya?…padahal Wiwiek bawa camilan banyak banget dan habiss… Eboy juga bawa spikoe, ludesss….
Setelah sarapan, ada yang mau mandi ada yang hanya cuci muka atau hanya sekedar nengok kamar mandi, nggak jadi mandi. Kita akan melihat hutan mangrove, lokasinya tak jauh dari parkir, cukup jalan kaki saja. Sebelumnya, kita perlu berwelfi lagi, ada spot yang bagus untuk diambil gambarnya, huruf-huruf besar dari kayu bercat coklat membentuk kata BAMA.  Sekali lagi…kamera sekarang nggak ada bunyinya, kayaknya momentnya nggak terasa. Ingat-ingat jam pelajaran ketrampilan fotografi oleh bapak Karsadi (mudah-mudahan namanya tidak salah ?), satu rol film fuji isi 24 hitam putih digunakan pratek foto berame-rame, sampai menghasilkan foto diatas kertas. Puas rasanya…
Di bawah rerindangan pohon di Pantai Bama


Hutan mangrove berupa teluk kecil yang dipenuhi pohon bakau, cukup luas, konon cerita pak Ketu, ini memang sengaja dilestarikan untuk kebutuhan penelitiam ilmiah. Jalan setapak berbeton dibangun menembus hutan untuk pengunjung yang rindu dengan suasana alam hutan pantai, sampai pada dermaga di salah satu ujung pantai yang dapat memandang pantai lepas laut Jawa. Angin semilir pantai seakan menghilangkan suasana pagi yang mulai panas. Tak lupa selfi dan welfi di dermaga dengan background laut lepas tak mungkin  untuk tidak dilakukan. Saking asyiknya, topi kebanggaan salah seorang pengunjung jatuh dan hanyut…
Dermaga Hutan Mangrove, Pantai Bama

Waktu berlalu, jam di handphone menunjukkan angka tujuh.Kami harus segera kembali, masih banyak view yang harus dinikmati keindahannya. Pak Zen bergabung dengan kami untuk memandu kunjungan kita selanjutanya.

Bekol. Rombongan pulang meninggalkan pantai Bama, sementara pengunjung lain mulai berdatangan. Jalan beraspal licin mengantar kepergian kami ke destinasi selanjutnya, masih di Taman Nasional,  Bekol point view. Savana dalam cuaca panas dengan warna kekuningan membuat suasana yang lain. Sepanjang mata memandang, hanya padang rumput meranggas yang tampak, dan diujung barat gunung Baluran memberikan kesan yang mendalam tentang keindahan alam. Konon kalau musin hujan, suasana akan berganti menjadi hijau …perlu dicoba kalau bulan Desember-Januari.
Pohon Raisa dan Kubangan Banteng- Kerbau di Savana Bekol
 Bekol, selain lokasi kantor pengelola Taman, disediakan juga pesanggarahan dan yang jelas tempat singgah pengunjung untuk melihat lebih dekat dengan banteng, kerbau, kijang.  Tidak jauh dari lokasi ini, terdapat kubangan untuk hewan-hewan tersebut berjemur. Kalau monyet hampir semua tempat ada, hati-hati dengan tas atau barang bawaan anda. Jika lengah atau lupa naruh, bisa jadi digondol nggak ngomong dulu. Banteng sebagai salah satu binatang yang menjadi keunikan TNB, menurut informasi pak Zen, keberadaan banteng Jawa saat ini tinggal +/- 50-an ekor. 
Berpose dengan latar belakang Gunung Baluran

Populasi yang semakin sedikit, karena maraknya perburuan liar, perubahan habitat yang ditandai dengan telah berkurang dan adalah dengan membangun pusat penangkaran banteng Jawa. Dibangun sejak tahun 2013 dan sudah melahirkan 10 banteng muda.  Tidak jelas informasinya, enam tahun terakhir, berapa banteng yang mati. Yang jelas di beberapa spot view tulang-tulang kepala banteng atau kerbau dipajang dalam bentuk rak-rak bertingkat. Seandainya setiap kepala banteng ada riwayat-nya mungkin akan lebih menarik. Jam terus berputar, terik matahari semakin meninggi, akhirnya kami pun harus meninggalkan lokasi, lanjut ke destinasi selanjutnya.
Pak Zen, petugas TNB (topi hitam)

Pantai Bangsri. Rombongan melaju keluar kawasan TNB, masuk jalan raya nomor 1 menuju ke arah timur. Sementara Agus meluncur sendirian dengan Yamaha X-Max nya. Lebih kurang sepuluh kilometer dari pintu gerbang TNB, tanda pengenal Pantai Bangsri pada marka lalulintas warna biru terlihat dikejauhan. Pak sopir kami (mobil nomor2) melihat mobil 1 koq melaju terus tidak belok ke arah pantai. Jangan-jangan pemandau jalan di mobil 1 lagi ketiduran semua dan pak sopir nggak melihat marka jalan. Betul juga, mereka keblabasan sampai lima kilometer, setelah pak sopir meng-call teman sopir mobil 1. Padahal di belokan jelas ada tulisan Pantai Bangsri pada gapuran yang baru dibangun. 


Berpose di depan rangka Banteng Baluran & Banckgroung Gn. Baluran
Spot View Bekol Savana 

Pantai Bangsri, Banyuwangi
Pantainya cukup dekat dengan jalan raya Pantura, tidak sampai duapuluh menit rombongan sampai di Warung Pak Ridwan (sudah dikontak dulu oleh Pak Ketu), setelah sempat salah masuk kapling. Warung pak Ridwan sedang menyiapkan makan siang, karena booking-nya jam 13.00, kami datang terlalu cepat (jam 10.00). Waktu yang kosong kami gunakan untuk mampir ke ‘lapak’ seberang. Namanya Banyuwangi Under Water, rumah apung di perairan  pantai Bangsri (+/- 300 meter dari bibir pantai). Di pintu dermaga terdapat plang dengan peta dan tulisan Kawasan Konservasi Pantai Kecamatan Wonorejo Banyuwangi, seluas +/- 13 ha. Salah satu penunjukan potensi wisata sekaligus pelestarian dalam lingkup terumbu karang yang jeli dan sekaligus cerdik, walaupun cakupannya tidak terlalu besar. Untuk menuju ke lapak disediakan ‘dobel banana boat’ (perahu fiber yang biasa disebut banana boat, sepasang, dihubungkan dengan bahan fiber berbentuk batang dan dipasang tenda), jadilah transportasi penghubunng pantai Bangsi dengan lapak Banyuwangi Under Water
Dermaga ke Rumah Apung

Waktu yang diperlukan hanya 5 -10 menit dengan membayar ongkos sebesar sepuluh ribu rupiah.  Sayangnya, nggak bawa baju renang, padahal dengan harga 10k pengunjung diberi kesempatan untuk menikmati indahnya terumbu karang di area kawasan seluas 10 hektar. Jadi ingat di pantai Bunaken, Menado, untuk yang akan snorkeling disediakan roti tawar sebagai pancingan bagi ikan-ikan untuk mengerubuti berebut roti yang kita bawa. Assiiikkk, ikannya juga bagus-bagus. Selain itu juga ada penangkaran ikan hiu yang berada di lapak yang sama, dibangun oleh Kementerian DKP RI.  
Di Rumah Apung

Jam melaju mendekati jam 12.00, lamat-lamat terdengar suara adzan dhuhur, bergantian rombongan balik ke pantai. Makan siang sudah siap. Nyemm..nyemm..nyemm…
Agus Wandi pamitan dulu, harus balik Denpasar lagi…. Ok pe mu lagi ..te te de je….
Rombongan meninggalkan pantai Bangsri menuju Banyuwangi

Ketika SD pada pelajaran ilmu bumi (lupa-lupa ingat ?) apabila menyebut kota Banyuwangi yang diingat adalah Muncar yang terkenal dengan pelabuhan ikan, konon terbesar  kedua di tanah setelah pelabuhan Bagansiapi-api di Riau. Atau , kalau di kalangan  dunia lain, Banyuwangi terkenal sebagai kota santet. Jika ada orang kena santet, mesti dikaitkan dengan kota ini.  Kini, 44 tahun kemudian, bahkan sepuluh tahun terakhir, Banyuwangi lebih dikenal sebagai kota wisata. Jangan heran, agenda kegiatan tahunan untuk mendukung destinasi wisata tersebut dalam satu sudah tersusun dan disosialisasikan ke semua stake holder.  Hal ini tidak lepas dari peran pimpinan daerah yang saat ini, Abdulah Awar Anas. Putra daerah yang mempunyai visi dan misi mengembangkan potensi daerah yang luar biasa dengan konsep ekoturisme, yaitu mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal. 

Rumah Apung
Spot untuk berwelfie ria, Pantai Bangsri


Pantai Bangsri

Gunung Ijen, Pantai Pink, Desa Wisata Using, Pantai Watudodol dan lain-lain merupakan salah ‘empat’ destinasi wisata andalan yang sering dikunjungi wislok dan wisman. Kali ini rombongan kami akan mengunjungi dua destinasi tersebut.

Desa Wisata Using, Kemiren


Capital O Hotel, Sahid Grup
Desa Wisata Using. Mobil rombongan melaju diantara kepadatan lalulintas pantura Sabtu siang. Makan siang membuat perut kenyang dan penyakit lama kambuh lagi, ngantuk. Hampir seisi mobil tidur terlelap, kecuali sopir. Menjelang waktu asar, mobil sudah sampai di Desa Wisata Using yang terletak di dusun Krajan, desa Kemiren, Kec. Glagah, Kab. Banyuwangi. Mobil parkir di halaman Capital O Hotel (bersebelahan dengan lokasi Desa Wisata Using). Resepsionis sudah menunggu kedatangan kami, tak berapa kunci kamar sudah ada di tangan. Penulis sekamar dengan rekan Nyok. Kamarnya berupa cottage yang berjajar ke atas (barat). Hotel yang tergabung dalam jaringan OYO Indonesia, desain kamar berkonsep natural, perabotan kamar terbuat dari kayu, kamar mandi terbuka dinding batu dengan variasi kayu papan tempel, lantai motif kayu.  Nggak heran kalau kami larut dalam suasana alam dan akhirnya…..zzz.zzzzz…. Oh ya, bagi pengunjung yang menginginkan suasana rumah, dapat menyewa homestay yang tersebar di berbagai area, termasuk di Kemiren ini. Tentu saja disesuaikan dengan budget yang tersedia.


Kolam Renang di Desa Wisata Using
Sementara di ruang sebelah, ramai sekali anak-anak berteriak-teriak. Penulis penasaran, ada apa di sebelah. OOo..oo rupanya Desa Wisata Using adalah wisata tempat wisata dengan fasilitas kolam renang. Letak kontur tanah yang agak curam, memberi kesan unik pada tempat ini. Dengan membayar 10k saja, pengunjung dapat berenang sepuasnya di dua kolam renang yang tersedia, di atas dan di bawah.
Sesuai rundown acara, malam ini kami akan makan malam di Café Resto Osing Ndeles. Ba’da magrib satu persatu penghuni kamar mulai kamar. Sesuai kesepakatan di WA grup, khusus malam ini kami memakai pakaian adat. 
Berpose sebelum Dinner
Pak Ket tampil baju batik blangkon mangkunegaran, Udin baju betawi, Gatot pakai surjan lurik Ngajokjakarto, ibu-ibu memakai baju kebaya putih bawahan batik..kerennnn semuanya. Tiba saatnya welfi dan selfi sebelum dinner dengan background nama hotel, dengan segala pose dan posisi bahkan mimik muka yang semuanya tampak cerah gembira.  Sayangnya kamera-nya Gatot habis baterenya, sehingga hasil jepretan tidak seindah warna aslinya #sakurafilmlagi.


Malam Minggu kota Banyuwangi ramai meriah, banyak mobil ber plat luar daerah yang menunjukkan wisatawan lokal yang sedang ber-week end di kota ini. Sebelum ke café tujuan, mampir dulu ke apotek, beli obat penurun kolestrol buat ndoro Sonny, sejak sore hari badannya pegal-pegal dan kesemutan dan pusing kepala. Penyakit-e tiyang sepuh lagi kambuh.
Gatot

Café Osing Ndeles terletak di jalan Agus Salim, tempat mangkalnya anak muda. Selain café, tersedia juga toko souvenir khas Banyuwangi, lengkap. Kaos, celana, tas, baju, camilan, batik dan lain-lain.  Rombongan kami disiapkan di lantai dua, menunya yang special adalah rujak soto, Banyuwangi banget. Namun sebelumnya, di tengah ruangan , stage untuk home band (malam ini tidak tampil di sini, tapi di lantai bawah) dengan back ground Rumah Osing Ndeles rupanya memancing siapapun pengunjung untuk berselfi ria. Kami pun tidak mau ketinggalan. Puas bernarsis ria, kami segera menyerbu hidangan yang sudah disiapkan. 
Lagi nengok ke bawah, "Siapa sih yang nynyi?"









Sambil makan hiburan home band terdengar cukup keras, karena memang lantai satu dan lantai dua ada vide, ruang terbuka. Perut kenyang, oleh-oleh sudah di tangan, malam menjelang, kami pun undur diri. Sebelum balik ke hotel (hotel letaknya agak ke luar kota), kami sempatkan untuk sightseeing melihat suasana larut malam di kota Banyuwangi. Pantai Boom ramai sekali, parkir-an penuh, nggak dapat tempat. Mobil pun lanjut saja. Akhirnya ..malam ini berakhir dengan keceriaan yang mengantarkan badan tidur ke alam mimpi. Siapkan gergaji…mulai……grek grok..grek..grok…

Hari ke-3, 8.9.2019
Minggu pagi cuaca cerah, suhu udara agak dingin, kami memanggil-manggil visa WA grup, supaya kumpul di halaman rumah wisata. Acaranya pagi ini, sebelum sarapan, senam pagi dipimpin guru kita yang cantik, bu Atik Samad. Ya bener…putri sulungnya bu Samad, guru olahraga kami. Senam pemanasan dulu..satu..dua..tiga..empat..satu..dua..tiga..empat.. Dilanjutkan dengan senam maumere. Sonny kebagian pegang megaphone sambil mendekatkan hpnya, Subyek kebagian syuting film…


Senam Maumere
♪ ♫ Maumere da gale kota ende Pepin gisong gasong Le'le luk ele rebin ha
Maumere da gale kota ende Pepin gisong gasong Le'le luk ele rebin ha
♪ ♫
♪ ♫ La le le luk sila sol Mi fa mi fa sol Le'le tiding fa fa Rebing mude mi
Do do do do mi do mi do gemu fa mi re Ele le ele leLa le le luk sila sol Mi fa mi fa solLe'le tiding fa fa Rebing mude mi Do do do do mi do mi do gemu fa mi re
Maumere da gale kota ende Pepin gisong gasong Le'le luk ele rebin ha
♪ ♫
♪ ♫ Maumere da gale kota ende Pepin gisong gasong Le'le luk ele rebin ha♪ ♫
Putar ke kiri e Nona manis putarlah ke kiri Ke kiri ke kiri ke kiri dan ke kiri ke kiri ke kiri ke kiri manis e Sekarang kanan e Nona manis putarlah ke kanan Ke kanan ke kanan ke kanan dan ke kanan
♪ ♫    …mendadak suara berhenti, “Sik irungku gatel……. ”, kata Sonny sambil menggaruk-garuk hidungnya, yang sebenarnya nggak gatel gatel amat…Sontak yang lain pada ketawa, sekaligus bubar senamnya….gerr..ger….
Desa Using, Desa Kuliner Minggu Pagi
Konsep wisata berbasis ekoturisme adalah memberdayakan masyarakat. Salah satu contoh bagaimana simbiose mutualisme terjadi antara masyarakat dan pemerintah yang menguntungkan kedua belah terjadi di setiap hari Minggu pagi. Letaknya tidak jauh dari kami menginap, di salah satu gang di jalan Jambisari (jalan raya Kemiri ke arah puncak Ijen). Sepanjang gang kecil (hanya bisa dilalui mobil kecil satu arah saja), hampir setiap rumah menggelar aneka macam kuliner tradisional khas Kemiren. Ada yang menggelar di depan rumah, untuk makanan kecil untuk kuliner take way. Atau menggelar dagangan di teras rumah, perabotan rumah sekaligus sebagai tempat makan tamu pengunjung. Asssiikkk…kaya di rumah saja.  
Warung Jajan Pasar

Dengan berjalan kaki rame-rame kami menuju ke lokasi kuliner sarapan pagi. Hari masih terlalu pagi bagi pengunjung yang berasal dari luar desa. Bagi kami menguntungkan, bisa leluasa menikmati dan mencicipi semua kuliner yang aneh-aneh. Pak Ketu pesan sate, Eboy pesan kue cucur, getuk, Cie pesan pecel dan yang lain pada hunting sendiri-sendiri. Sementara Udin cari lokasi warung yang leluasa, yang dapat menampung kami berduapuluh. 


Pak Ketu belanja sate ayam

Belanjaan kami bawa dan makan berame-rame di warung mBok Untung yang sudah di booking Udin. Pas sekali tempatnya, tidak jauh dari pertunjukan musik lesung khas masyarakat Osing. “Sopo sing gelem sate ayam, sate jamur…”, teriak Budi hasil belanjaannya. “Iki getuk, cucur, pecel, jadah, tahu bacem..sopo sing gelem, njupuk ae yoo…”, penulis meletakkan belanjaan Eboy ke meja kayu jati panjang besar. “Iki opo ? tak njupuk yoo…”, Kombang menimpali sambal ngambil salah satu makanan yang dibungkus daun pisang. Banyak celotek diantara kami diselingi dengan canda dan nyek-nyek-an, yang penting nggak boleh njae… #dongkolmarah. Benar-benar kebersamaan yang luar biasa. Punya-mu punya-ku, punya-ku punya-mu. Rasanya pingin berlama-lama, tapi waktu tidak bisa berhenti, kami berkemas balik ke hotel untuk segera cek-out menuju destinasi selanjutnya.
Unik sekaligus berkesan, konsep kuliner khas tradisional yang pertama yang pernah kami rasakan.
“Jam sembilan kita stanby di parkir mobil yoo..”, pak Ketu mengingatkan, sebelum peserta balik ke kamar masing-masing untuk mandi dan berkemas-kemas.

Musik Lesung, Musik Tradisional Masayakat Osing


Pintu Gerbang ke Kawah Gunung Ijen
Air Terjun Kalipait
Air Terjun Kali Pahit, Paltuding, Ijen. Dari jalan raya Desa Kemiren perjalanan dilanjutkan ke utara (puncak Ijen) menuju Licin (salah satu desa terdekat dengan kawah Ijen). Jalan terus menanjak, dari desa Kemiren (+/- 400 m), Licin (+/- 1000 meter) sampai Paltuding (kaki gunung Ijen) dengan ketinggian +/- 1800 meter. Sepanjang jalan banyak ditemukan resto, warung kopi, home stay bahkan agen travel untuk meng-guide wisatawan. Bumi perkemahan Paltuding merupakan tempat kendaraan terakhir yang bisa digunakan sebelum mendaki ke gunung Ijen. Fasilitas yang tersedia cukup lengkap, parkir luas, warung, kamar mandi, WC, homestay pun juga ada. Pengunjung tidak terlalu ramai, mungkin sudah agak siang, yang tadi malam naik ke puncak sedang turun. Beberapa turis mancanegara asik ngobrol, beberapa sepeda parkir. Kurang jelas apakah ke sini nya naik sepeda atau naik mobil. Yang jelas untuk turun nya naik sepeda nggak masalah, kecuali kalau rem-nya yang bermasalah.

Kali ini kami tidak punya rencana untuk naik ke kawah, mengingat waktu dan kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Kebetulan penulis dua kali mendaki gunung Ijen (http://inendri.blogspot.com/2016/05/negeri-blambangan.html). Fisik bagi kita-kita yang uzur mesti harus dipersiapkan . Betapa tidak dengan ketinggian +/- 2800 meter dengan jarak hanya 3 kilometer, dapat dibayangkan curamnya seberapa jalan untuk mendaki tersebut. Walaupun…saat ini tersedia ojek gerobak. 
Ojek ke Puncak Ijen, 600K only

Dengan ongkos 600k pp, pengunjung dijamin bisa sampai ke puncak gunung. Belum turun ke kawah lho… kalau mau turun ke kawah, ngak ada ojek, karena jalan hanya setapak saja, mau nggak mau masih diperlukan stamina yang cukup turun ke kawah dan naik lagi ke puncak gunung. Jangan kuatir, saat ini di dekat gerbang pintu masuk dibangun diaroma pemandangan kawah Ijen dengan danaunya. Pas sekali untuk selfi ataupun welfie. Kalau untuk membuat berita hoax sudah disediakan fasilitasnya dengan view yang mirip aslinya, paling tidak bagi yang belum naik ke gunung Ijen akan terkecoh dan percaya bahwa yang terpampang di foto manusia-manusia yang dukses sampai ke puncak Ijen. Tentu saja, tidak bagi yang sudah pernah naik ke kawah Ijen.  Puas dengan berselfie ria, rombongan melanjutkan ke destinasi terakhir, air terjun belerang Kalipahit. Letaknya tidak terlalu jauh dari bumi perkemahan, pun tidak terlalu jauh dari jalan raya kawah Ijen. Berbeda dengan air terjun pada umumnya, dimana air terjun bebas dari dua terain yang ketinggian bersudut 90 derajat, perbedaan terrain di air terjun Kalipahit relative lebih landai, sehingga air yang mengalir tidak terlalu deras jatuhnya. Air yang berasal dari kawah gunung Ijen membawa material-material belerang, sehingga di bebatuan tampak bekas sisa-sisa belerang melekat berwarna kuning. Unik dan bagus sekali sebagai obyek pemotretan. Tentu saja tidak disisa-siakan begitu saja.
Berpose di diaroma Puncak Ijen

Air Terjun Kalipait, Paltuding,  Ijen
Waktu menunjukan jam 11.00, rombongan melanjutkan perjalanan pulang ke Malang melalui arah yang berbeda, lewat kota Bondowoso. Pilihan yang cerdas, selain mengikuti Sunnah Nabi (disunahkan berpergian dan pulang melewati jalan yang berbeda), pemandangan sepanjang jalan tentu akan lain. Kami akan melewati jalan raya kawah Ijen mengikuti lereng gunung Ijen di sisi sebelah barat, dan lereng gunung Raung sisi sebelah timur. Yah betul sekali…berada diantara dua bukit gunung. Jadi ingat waktu pelajaran menggambar oleh ibu Sri Mumpuni (? mudah-mudahan nggak salah). Jika menugaskan kami untuk menggambar dengan tema bebas, pasti ada diantara kami (terutama di kelas 3B), menggambar dua gunung, matahari terbit diantaranya, jalan menuju lembah gunung dengan hamparan sawah berbentuk persegi tempe. Hayo siapa …... 
Kalipait, Paltuding, Ijen

Jika waktu kami cukup, masih ada beberapa air terjun yang bisa dikunjungi dan tentunya viewnya tidak kalah menarik dengan yang lain.
Layaknya jalan di lembah pegunungan, berkelok-kelok hanya dengan dua arah (kiri dan kanan…ya iya lah) pepohonan rindang menaungi kami dri sinar terik matahari. Kondisi jalan beraspal bagus. Teringat 35 tahun yang lalu, penulis pernah melakukan survei geothermal di sekitar kawasan Ijen dan tim menginap di Sempol selama sebulan. Kondisi jalan Tidak berapa lama, lahan terbuka mulai nampak dengan pepohonan lebih rendah berbuah kecil (sebesar biji kelereng), ya betul …kebun kopi. Kami sudah memasuki wilayah Bondowoso, hamparan kebun kopi berada di bawah pengelolaan PT Perkebunan  XII Afdeling Jampit. Sayang lagi, waktunya sangat terbatas, udara dan view sangat bagus sekali..
Menjelang sholat dhuhur mobil rombongan sampai di pasar desa Kalisari, Kalisat, Sempol. Sambil istirahat kami sholat dhuhur di masjid At Taqwa yang letaknya tidak jauh dari pasar. Masjidnya bagus, bersih, merepresentasi-kan pengurus dan jamaah masjid istikomah dalam beribadah dan sejahtera dalam perekonomian di tingkat desa/dusun. 
Udin dan Nyok

Pada saat sholat kami panjatkan doa, ya Alloh jadikanlah kami orang-orang yang senantiasa bersyukur dan istikomah dalam beribadah dan mengingatMu. Seusai sholat kami sempat berbincang-bincang dan menyampaikan usulan, kebersamaan seperti ini tidak cukup dalam konteks kesenangan duniawi. 
Alangkah mulianya apabila diwujudkan dalam bentuk rasa syukur dalam bentuk beribadah bersama dalam suatu majelis taklim. Sehingga kami menyepakati untuk mengadakan kegiatan rutin per dua-bulanan berupa pengajian rutin yang pelaksanaan bisa bergiliran di rumah teman-teman yang bersedia. “Supaya rumahnya tambah berkah”, celetuk Budi BR. Insya Alloh.
Istirahat di Pasar Sempol, Bondowoso

Walaupun sudah tiba waktunya makan siang, karena tidak ada rumah makan yang nyaman dan mengguggah selera, kami hanya sekedar ngopi dan nge-teh saja di salah warung kopi di pasar Sempol. Sambil menikmati kopi Sempol, seperti biasa nyek-nyekan berlangsung dengan ketat dan seru. Bintangnya tetap trio kwok kwok… Sonny-Subyek-Udin. Penulis mengusulkan untuk tahun kita rencanakan untuk doreng ke Bali, kebetulan ada Agus Wandi, mudah-mudahan bisa membantu sebagai pemandu. “Setuju ae, nek ngono iuran bulanan ditambah, seket-an..yooo”, usul pak Ketu. “Setuju..”, Ciek menimpali. Mudah-mudahan kami diberikan rejeki yang barokah…aamiin..aamiin..aamiin. Sebelum meninggalkan warung, kami sempatkan untuk beli kopi bubuk asli Sempol dengan brand Ijen Sempol Cofee. Dengan perut masih setengah lapar (karena sudah ngopi), perjalanan dilanjutkan ke kota Bandowoso untuk makan siang. Ba’da asar rombongan nyapai di restoran Lestari yang menawarkan masakan Indonesia asli. Benar juga, semua menu makanan yang dipesan ibu-ibu ludes habis tak bersisa, apalagi sate-nya (jadi rebutan antara Eboy dan Nyok). Pesan khusus buat Subyek, mulai lah mencoba makan makanan yang agak-agak pedas, sehingga kalau suatu saat nanti ada yang ngerja-in makan sambel, seperti yang dilakukan Lina atas dirimu, aktingnya bisa lebih cantik dan manis, kayak pose yang WAG itu lho….ha..ha…ha….
RM Lestari Bondowoso
Akhirnya, waktu jua yang membatasi kebersamaan ini, mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi di lain kesempatan dengan suasana yang berbeda….Terima kasih pak Ketu, bu Bend, seksi sibuk dan provokator (Udin-Sonny-Subyek)  dan semuanya, anda semua menyenangkan….
Kerangka Banteng & Gunung Baluran

Rak Kerangka Banteng

Taman Konservasi Terumbu Karang Pantai Bangsari, Banyuwangi

Pantai Bama, Baluran, SItubondo

Air Terjun Kalipait, Paltuding, Ijen, Banyuwangi